Langsung ke konten utama

Prototipe Peringatan Haul




Woko Utoro


Bicara tentang haul menjadi menarik terlebih peringatan kematian seseorang tersebut telah mentradisi di masyarakat kita. Mengapa ada haul dan apa bedanya dengan maulid. Menurut KH Said Aqil Siradj haul adalah peringatan satu tahun kematian seseorang. Sedangkan maulid adalah peringatan hari kelahiran. Kata Gus Mus hanya ada 2 orang yang hari lahirnya selalu diperingati yaitu Kanjeng Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal) dan Nabi Isa AS (25 Desember).


Haul memperingati hari wafatnya seseorang. Alasannya sederhana bahwa seseorang dinilai baik atau tidak justru di ujung hidupnya. Maka dari itu peringatan haul dilaksanakan sebagai pengingat kematian sekaligus mengenang kembali uswah atau teladan seseorang selama hidupnya. Karena orang biasa belum tentu baik di akhir hidupnya maka haul lah yang mewakili tradisi tersebut. Sedangkan maulid sudah jelas untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang awal hingga akhir hidupnya sudah dijamin masuk syurga oleh Allah SWT.





Berkaitan dengan haul kebetulan kemarin (2/3/24) kelurga serta masyarakat Kubangsari dan sekitarnya memperingati haul ke 11 KH Hafidz Baehaqi. Pak Hafidz begitu orang memanggil beliau merupakan kiai kharismatik yang pernah kami jumpai di Haurgeulis bahkan Indramayu. Beliau merupakan pimpinan NU kala itu sekaligus Ketua Yayasan Nurul Hikmah Haurgeulis. Tentu banyak kisah mengenai uswah hasanah dari beliau.


Saya hanya ingin bertanya, sejak kapan haul Pak Hafidz diperingati begitu gegap gempita. Tentu hal ini berdasarkan musyawarah keluarga dan para santrinya. Saya jadi berpikir jauh di Indonesia tradisi haul begitu banyak dilaksanakan di mana-mana. Bahkan tradisi memperingati haul orang sholeh tersebut seperti tak pernah putus. Sekalipun di bulan Ramadhan tradisi haul masih tetap berjalan.


Jika boleh kita runtut tradisi haul bisa dibagi ke dalam beberapa bentuk acara. Misalnya haul Abah Guru Sekumpul Martapura diisi dengan pembacaan maulid Habsyi dan dzikir khas Syeikh Samman al Madani. Ada juga haul akbar Kedinding Surabaya (KH Usman Al Ishaqi dan KH Ahmad Asrori Al Ishaqi) dengan dzikir fida, pembacaan manaqib Syeikh Abdul Qodir Al Jailani serta maulidurrasul. Ada juga haul Solo dan Gresik yang diisi dengan rauhah, pembacaan maulid dan mauidhoh hasanah. Selanjutnya Haul Gus Miek diisi dengan semaan al Qur'an dan aurad dzikrul ghafilin serta petuah keluarga ndalem. Terakhir haul Gus Dur dengan isian aurad yasin tahlil dan testimoni para sahabat.


Tentu banyak lagi tipe peringatan haul dari setiap tokoh dan daerah setempat. Bahkan ada juga rangkaian haul yang diisi dengan kirab budaya, festival, bazar, cek kesehatan gratis, seribu rebana, ziarah hingga sayembara lomba. Yang jelas peringatan haul tersebut telah menjadi semacam identitas setempat. Identitas yang sekaligus menjadi rujukan peringatan haul di berbagai daerah.


Terkhusus haul KH Hafidz saya kadang membayangkan akan ada banyak orang atau santri beliau yang memberikan kesaksian atau testimoni. Sederhananya bahwa Kiai Hafidz memang perlu dipetik uswah hasanahnya. Maka dari itu perlu adanya kesaksian dari para sahabat mengenai rekam jejak perjalanan hidup beliau.


Ibarat testimoni dalam haul Gus Dur jadi setiap orang atau tokoh bisa siapa saja memberikan kesaksian. Dengan kesaksian tersebut kita akan kaya dan mendapatkan informasi mengenai sosok yang dihauli. Sehingga dari testimoni tersebut akan menjadi semacam kesaksian kultural yang akan hidup lebih lama. Terlebih lagi jika kesaksian tersebut dibukukan oleh pihak keluarga.


Melihat antusiasme warga Kubangsari dalam peringatan haul Kiai Hafidz saya makin yakin jika kebaikan beliau akan terus lestari. Mungkin faktanya beliau tidak memiliki pondok formal mentereng seperti pada umumnya. Akan tetapi keberadaan santri, siswa dan murid beliau yang mewarisi ragam ajaran serta uswah hasanah adalah lebih dari sekadar pondok. Bagi saya kebaikan kiai atau guru yang diteruskan oleh santrinya adalah pondok hidup. Pondok yang akan terus berkembang walaupun tanpa bangunan. Pondok yang akan terus lestari walaupun Pak Kiai tak ada di sini.


Karena langit sudah tak menurunkan Pak Kiai lagi maka anak-anak beliau serta para santrilah yang akan meneruskan perjuangannya. Salam hormat untuk keluarga dan para santri Pak Kiai Hafidz. Untuk beliau, Al Fatihah.


the woks institute l rumah peradaban 3/3/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde