Langsung ke konten utama

Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah?




Woko Utoro

Tidur hukumnya mubah. Tidur juga merupakan fasilitas alami yang Allah berikan buat manusia. Sehingga siang hari dipergunakan untuk aktivitas bekerja dan malamnya untuk beristirahat. Istirahat bisa berupa apa saja dan salah satunya adalah tidur.

Bicara tentang tidur kita pernah mendengar hadits "nawmu shooimi ibadatun" atau tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Hadits riwayat Al Baihaqi tersebut begitu populer utamanya ketika momentum puasa Ramadhan seperti saat ini. Sehingga oleh beberapa orang diartikan secara serampangan jika tidur sepanjang hari merupakan ibadah. Tapi apakah demikian penjabaran mengenai tidur adalah ibadah?

Pertama, harus diketahui bahwa tidur tidak boleh dipolitisir untuk kepentingan nafsu. Memang dasarnya tidur adalah boleh tapi kita harus tahu porsinya. Jangan sampai tidur sebagai alat balas dendam untuk tidak beraktivitas selama puasa. Kata Imam Ghazali jangan sampai tidur menjadi alat untuk bermalas-malasan. Justru tidur itu harus menjadi metode atau alat tarkul ma'asyi (menghalau maksiat).

Kedua, tidur yang bernilai ibadah kata Syeikh Nawawi al-Bantani yaitu ketika diniati sebagai sarana kuatnya ibadah. Jika ibadah misalnya shalat memerlukan tenaga pasca bekerja maka tidur sangat dianjurkan sebagai cara memulihkan stamina tubuh. Selanjutnya tidur tidak dimaksudkan sebagai penunjang kemaksiatan. Jadi lebih baik tidur daripada sibuk bergunjing dll.

Mengenai tidur ada juga kisah dari seorang kiai. Katanya ketika beliau menasehati santrinya, "Kamu apa ndak bosan tidur terus? Padahal esok ketika mati kamu akan tertidur begitu lama". Sontak saja mendengar hal itu si santri sadar bahwa tidur secukupnya dan ngaji sebanyaknya. Ya kita tidak dilarang tidur tapi tahu batasannya.

Selain itu kita juga sering mendengar kisah dalam Kitab Ta'lim Mutaalim bahwa ada orang yang tidur tapi ditakuti oleh syeitan daripada seorang abid yang ibadah. Ternyata usut punya usut orang tidur tersebut adalah seorang alim dan si abid (ahlu ibadah) tersebut adalah orang bodoh. Maka dari itu tidur bernilai ibadah juga ditentukan oleh kadar keilmuannya. Sama halnya dengan aktivitas yang bernilai dunia dan akhirat ditentukan dengan kadar niatnya.

Jadi sangat jelas bahwa perkara tidur pun Islam sampai mengaturnya sedemikian rupa. Maka kita harus mengetahui bahwa tidur bernilai ibadah ketika tahu ilmu dan niatnya. Termasuk tidur itu harus proporsional yaitu sebagai sarana penunjang ibadah dan kesehatan. Tidur itu bukan lamanya melainkan kualitasnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 30/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde