Langsung ke konten utama

Andai Aku Seorang Orator




Woko Utoro

Anda tahu situasi politik negeri ini begitu mencemaskan. Orang-orang yang awalnya diam tiba-tiba bergerak maju paling depan. Masyarakat yang kadang memilih aman gerak cepat ambil bagian. Termasuk orang pendiam tak butuh waktu lama untuk bersuara lantang. Keadaan mendesak memang memungkinkan merubah segalanya. 

Mungkin hal itu pun bisa terjadi pada saya. Seorang bocah yang bersuara dengan tulisannya. Seorang anak yang berjalan lewat kata-kata. Atau kadang seorang sipil yang mencoba menjadi orator dadakan. Dalam kondisi demokrasi yang babak belur saya membayangkan di atas podium kecil berkata lantang. 

"Saudara-saudara sekalian sebangsa dan setanah air. Bagaimana kabar kalian? Semoga selalu dalam lindungan Tuhan. Semoga kita masih memiliki banyak kekuatan untuk terus bersatu mengawal demokrasi. Saya yakin jika sudah urusan persoalan bangsa, agama, suku, ras, budaya, warna kulit atau budaya apapun tidak menjadi tembok yang memisahkan kita. Justru kata Gus Dur, di mana perbedaan di situlah titik persatuan. 

Ayo saudara-saudara kita terus kawal semangat persatuan di atas logika kewarasan. Kita rakyat harus kuat. Karena kita yakin bahwa akal sehat selalu punya peluang untuk menang. Ayo gabungkan kekuatan dan jangan pernah takut. Tempo hari Bung Hatta juga sudah mengingatkan bahwa titik tumpu pendidikan adalah kemampuan untuk mencintai kebenaran. Jika kita benar tak ada langkah untuk putar balik apalagi menyerah, kalah. 

Ingat bahwa rakyat sudah bersatu tak akan bisa dibelenggu. Jika rakyat sudah bersinergi tak akan bisa dibodohi. Ayo saudara-saudara, Indonesia ini rumah kita bersama. Jangan sampai rumah ini dikuasai oleh para pemilik modal, konglomerasi, mafia, hingga pelaku politik dinasti. 

Di situasi seperti ini ayo jaga kewarasan. Hati boleh saja mendidih tapi pikiran harus tetap dingin. Jangan kuras tenaga kita untuk hal-hal tidak penting. Yang terpenting jika kekuasaan tidak beres tak ada kata lain selain LAWAN. Jika mulut dibungkam sastra melawan. Jika di parlemen melawak maka komedian melawan. Jika konstitusi tidak ditaati tak ada cara lain selain geruduk dan adili. Mari bergerak, bergerak berdampak. Suara rakyat suara Tuhan.[]

The Woks institute rumah peradaban 23/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde