Langsung ke konten utama

Oleh-oleh Dari Mahanani Kediri




Woko Utoro

Sesungguhnya Ramadhani dan Mahanani itu lahir dari rahim yang sama. Yang membedakan hanyalah pergerakannya saja. Ramadhani bergerak di sekolah berbasis alam sedangkan Mahanani adalah taman baca. Dalam tulisan ini saya hanya ingin membedakan saja agar tujuan utama tersampaikan. 

Pertama, bahwa mahanani berawal dari buku-buku yang tidak terjamah di areal kandang ternak. Akhirnya atas inisiatif Bu Ulya dan Mas Naim buku tersebut menjadi berdaya. Lebih berkembang lagi karena adanya becak baca yang digerakkan oleh Mas Naim. Mas Naim yang tak lain adik Bu Ulya sering berkeliling komplek dengan becak bacanya untuk mengenalkan informasi dari buku kepada para tetangga. Akhirnya lambat laun pergerakan becak baca mulai dikenal bahkan hingga diundang di acara Kick Andy. 

Kedua, pasang surut di sektor apapun pasti terjadi termasuk dalam pengelolaan taman baca. Pasca pandemi dan Mas Naim menikah, Bu Ulya bercerita bahwa hal itu awal dari perubahan. Ditambah lagi sistem kerelawanan juga silih berganti. Kadang demikian selalu datang dan pergi. Maka Mahanani tinggal menyisakan beberapa peninggalan emas. Akan tetapi upaya untuk terus hidup juga masih dijalankan hingga saat ini. 

Ketiga, walaupun Mahanani tidak seperti dulu setidaknya lewat taman baca tersebut masih menyisakan asa untuk tetap berproses. Misalnya ruang kesenian, diskusi hingga pertunjukan masih sering digelar. Bahkan kata Pak Narno Mahanani menjadi semacam ruang kreatif, wadah kebudayaan di Mojoroto. 

Keempat, tak ada hal yang lebih berharga selain srawung atau silaturahmi. Karena dengan srawung kita akan mengerti satu sama lain. Kita akan mendapatkan pengalaman dan ilmu baru. Selain memperpanjang usia tentu suasana gayeng tidak bisa diciptakan selain lewat srawung, jagongan. Maka dari itu berjejaring termasuk srawung harus dilestarikan di manapun kita singgah. 

Kelima, dunia anak bisa dibentuk lewat dongeng. Karena metode apapun tujuan utamanya adalah membuat anak memiliki rasa ingin tahu. Dengan rasa penasaran tersebut anak menjadi kritis dan berproses mencari. Jika sudah begitu anak tinggal diarahkan saja. Kata Bu Ulya salah satu cara agar anak memiliki kecerdasan yaitu dengan sering mengajaknya berkomunikasi sejak di alam kandungan. 

Anak yang mendapatkan stimulasi sejak dini akan lebih cepat berkembang. Karena stimulus dalam arti komunikasi positif sejak di kandungan akan membentuk persepsi ketika si anak terlahir. Jadi jelas bahwa apa yang disampaikan orang tua akan berdampak pada anaknya. Dalam arti hubungan emosional sudah terbentuk bukan hanya lewat spektrum batin tapi juga komunikasi verbal. 

Mungkin itu yang dapat saya tangkap dari perbincangan siang itu. Sedikit banyak saya mendapatkan asupan energi dari sesama para penggerak. Intinya kita harus berjuang di jalan masing-masing sesuai dengan passion. Karena perjuangan lah satu dari sekian alasan mengapa kita tetap bertahan. []

The Woks Institute rumah peradaban 20/8/24

Dokumentasi:







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde