Langsung ke konten utama

Meriahnya Karnaval HUT RI Ke-79 Desa Plosokandang




Woko Utoro

Satu kata untuk karnaval Desa Plosokandang, luar biasa. Ungkapan tersebut menandakan perbedaan dari karnaval tahun 2023 yang secara kuantitas tidak sebanyak tahun ini. Di tahun 2024 secara kuantitas dan antusiasme masyarakat memang sangat berbeda. Terlebih di tahun ini dominasi para pemuda begitu nampak. 

Soal kreativitas karnaval dalam rangka menyambut HUT RI ke 79 itu terbilang mengalami peningkatan. Jika dulu tema-tema adat, kepahlawanan dan perjuangan mendominasi justru di tahun ini tidak begitu nampak. Di tahun 2024 ini peserta dari 3 dusun Srigading, Manggisan, Kudusan nampaknya lebih mendominasi pada tema modern dan ekonomi walaupun tradisionalitas tidak ditinggalkan. 

Saya melihat karnaval tahun ini justru lebih mengeksplor potensi ekonomi dusun setempat. Misalnya adanya usaha membuat keset, sapu, sangkar, wayang, tahu, rias, sound hingga kerajinan bambu. Bahkan uniknya terdapat peserta dari luar Plosokandang yang ambil bagian dengan tujuan partisipasi dan promosi. Hal yang tak pernah absen adalah adalah adanya replika boneka besar, miniatur dan peragaan busana. Yang tak kalah menarik tentu keberadaan sound horeg sekaligus membuat suasana begitu berisik. 

Saking banyaknya peserta maka panitia pun memperpendek jarak tempuh. Jika dulu start dimulai dari Lapangan Sepakbola Desa Plosokandang lalu ke selatan hingga ke barat Pondok Sirojuth Tholibin. Namun kali ini pertigaan tong perbatasan dengan Sumberdadi langsung ambik ke arah barat melewati jalur SDN 1 Plosokandang. Sedangkan untuk finish tetap sama yaitu baratnya Warkop Bok Brombong arah dusun Manggisan. 

Acara yang diselenggarakan tiap tahun ini tentu diikuti semua unsur. Mereka tumpah ruah dalam balutan kreativitas. Acara yang juga terdapat penilaian tersebut tidak dimaknai sebagai perlombaan apalagi rivalitas. Melainkan ajang silaturahmi antar warga. Acara karnaval juga menjadi ladang berkah tersendiri bagi pelaku UMKM untuk meraup keuntungan. Seperti yang kita ketahui warga yang berjualan di pinggir jalan mendapat keuntungan dengan adanya karnaval tersebut. Selain itu karnaval juga merupakan acara unjuk gigi dan sarana hiburan gratis.[]

The Woks Institute rumah peradaban 12/8/24








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde