Langsung ke konten utama

Sentimen Moral




Woko Utoro

Secara psikologis orang mudah kagum dengan keberhasilan. Jarang ada orang yang menaruh perhatian pada kegagalan. Seolah kegagalan adalah kutukan, nasib buang sial atau noda kehidupan. Akibatnya orang jadi takut gagal atau mengutuk kehidupan jika tau dia tidak berhasil.

Adam Smith seorang ekonom sekaligus filsuf berkebangsaan Skotlandia pernah berpesan berhati-hatilah karena setiap orang selalu punya kebiasaan memuji, mengagumi kekuasaan, keberhasilan, kekayaan dan di lain sisi mereka lupa pada kemiskinan, kegagalan, lemah, pinggiran. Inilah tanda awal dari sentimen moral.

Sentimen moral jika diteruskan bisa berbahaya. Karena bagaimanapun juga ada yang lebih tinggi dari sekadar moral yaitu kebenaran. Jika ditarik dalam makna kekuasaan anda pasti tahu setiap pemimpin mendeklarasikan dirinya bermoral. Para pengusaha selalu bermuka dua untuk melancarkan kepentingan. Di depan kamera, di hadapan rakyat para penguasa nampak alim, bijak, sopan santun, hingga merakyat. Tapi soal kebijakan dalam laju kepemimpinannya selalu ada yang disembunyikan.

Ingat sekali lagi bahwa jika ukurannya hanya moral maka seperti yang kita saksikan bersama. Di era pemerintahan saat ini siapa orang yang tidak memuji RI 1. Sikap dan tindak tanduknya begitu halus. Segala macam kebijakan seolah pro rakyat. Dalam hal pembangunan nampaknya tercitra keadilan. Tapi di sisi lain ada banyak hal yang dikorbankan salah satunya konstitusi dan demokrasi. Bagaimana jadinya jika kekuasaan mengepung kebenaran dengan memuluskan segala upaya.

Bagaimana jika kekuasaan sudah serakah memakan keadilan atas nama tumbal demokrasi dan pembangunan. Dengan begitu rakyat menjadi bingung melanjutkan pujian atau makian. Inilah efek di mana sentimen moral bekerja dengan baik. Kekuasaan yang dibentuk melalui demokrasi dan efek jauhnya membunuh demokrasi itu sendiri. Tapi jika keadaan negeri ini seperti yang kita ketahui sudah tidak aneh. Karena masa lalu sudah diingatkan oleh Machiavelli bahwa untuk menjadi penguasa hebat anda harus jadi pembohong besar.[]

the woks institute l rumah peradaban 24/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde