Langsung ke konten utama

Jangan Terlalu Berekspektasi




Woko Utoro

Entah bagaimana bisa seseorang mudah dikelabui oleh fisik. Apa karena mata kita terbatas dalam memandang secara objektif. Bahkan sudut pandang pun tak jauh berbeda juga sering terkecoh. Bisa jadi karena pikiran juga memiliki keterbatasan. Berkaitan dengan hal itu saya pun mengalami kegagalan dalam hal persepsi dan ekspektasi. 

Saya kadang menilai bahwa orang berkacamata itu pintar. Bagi saya orang berkacamata itu rajin dan pasti banyak membaca. Mereka bahkan dianggap memiliki tingkat fokus lebih tinggi daripada orang biasa. Ternyata ketika di lapangan penilaian saya keliru. Faktanya tidak semua orang berkacamata demikian. Ada juga orang berkacamata yang memang sakit mata atau sekadar gaya. Bisa jadi penilaian saya terlalu berhusnudzon. 

Saya juga menganggap jika santri lulusan pondok besar pasti pintar. Anggapan saya itu berdasarkan metode dan pembelajaran di pondok besar tersebut banyak terbukti melahirkan alumni yang luar biasa. Saya berpikiran jika santri dari pondok besar itu jago baca kitab, fasih bahasa Arab, menguasai ilmu alat dan akhlaknya luhur. Ternyata faktanya tidak juga demikian. 

Barangkali sudut pandang saya memang kadang salah. Atas nama besar pondok saya memukul rata bahwa santri keluar dari pondok besar akan berhasil. Atas nama kebesaran pondok dan kiainya saya pikir santri semua berhasil. Ternyata lagi-lagi saya keliru. Saya hanya memandang sebelah mata. Pemahaman itu masih parsial dan tidak bisa dijadikan rumus. 

Soal cara pandang ini barangkali perlu diluruskan. Saya tentu mendapat pencerahan dari seorang teman. Teman tersebut berasal dari gurunya. Katanya santri itu ibarat orang memarut kelapa. Ada santri jadi seperti kelapa parut. Selama proses memarut ada kelapa yang jatuh dari wadah, yang halus, yang kasar, ada yang utuh, hingga jadi santan. Nah dari perumpamaan itu jelas bahwa tidak semua santri bisa jadi santan. Padahal semua proses marut berasal dari kelapa yang sama. 

Maka dari itu tidak ada pakem paten apapun sesuai angan-angan manusia. Kadang justru lebih sering meleset dan hanya kehendak Allah lah yang utama. Dalam konteks ini pun kepintaran dan keberkahan santri ditentukan oleh dirinya selama di pondok. Jika mereka rajin dalam ngaji, khidmah dan akhlak karimah insyaallah santri tersebut adalah santan kelapa. []

The Woks Institute rumah peradaban 30/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde