Langsung ke konten utama

Diskusi Pemantik Rindu




Woko Utoro


Beberapa hari lalu saya bertemu driver ojol. Kebetulan dia masih teman saya sendiri. Kami bercengkrama saat pertemuan singkat itu. Dari ragam pembicaraan itu ada satu hal menarik yang terlontar dari sang driver. Topik tersebut berkaitan dengan kerinduannya akan dunia diskusi. Dunia yang menjadi tradisi akademik sebagai penunjang aktivitas perkuliahan. 


Kata teman saya dia merasa rindu kapan bisa diskusi seperti dulu. Ketika ia menjadi mahasiswa yang hampir tiap hari bergelut dengan buku. Diskusi menjadi barang wajib setelah membaca. Tapi kini dunia telah berubah. Semenjak lulus ia memutuskan menjadi driver ojol. Karena kebutuhan mendesak akhirnya tradisi membaca dan diskusi lambat laun ditinggalkan. 


Kadang mengingat momen itu ia hanya bisa pasrah sambil sesekali ingin mengulangi. Entah sekadar diskusi yang minimal nyambung dengan tema pembicaraan. Atau diskusi ringan tanpa keluar dari topik pengetahuan. Karena ia sadar lama hidup di jalanan membuatnya lupa bagaimana cara berdiskusi. Bagaimana cara mengikuti perkembangan dunia yang khas mahasiswa jika sudah tak lagi membaca. 


Apa yang dirasakan teman saya itu tentu bisa dipahami. Sangat mungkin perasaannya dialami pula oleh orang lain. Perasaan yang dirasakan orang akan kerinduan pada dunia diskusi. Pertama, saya melihat bahwa di hadapan kebutuhan ekonomi kadang membaca dan diskusi menjadi nomor sekian. Karena kita diburu waktu dan kesempatan untuk memilih. Padahal membaca dan diskusi tak kalah pentingnya sebagai kebutuhan otak. Dengan membaca berarti kita berupaya memperlambat proses penumpulan otak. 


Kedua, diskusi dalam tanda kutip tematik adalah bermaksud menguji proses berpikir. Oleh karena itu hasil bacaan dan perdiskusian memungkinkan orang semakin cerdas. Kecerdasan tersebut setidaknya terlihat dari bagaimana ia bicara. Maka benar kata Virginia Wolf bahwa bacaan berdampak besar pada aliran deras bahasa. Orang rajin membaca biasanya cenderung tertata ketika bicara. 


Ketiga, membaca dan diskusi seharusnya tetap dilakukan sekalipun sudah di luar kampus. Sehingga proses internalisasi pengetahuan tetap terawat dengan baik. Maka benar bahwa pembelajaran itu tidak terbatas tembok kampus melainkan hingga ke masyarakat. Proses membaca itulah yang disinyalir sebagai aktivitas long time education. Termasuk juga upaya menyeimbangkan asupan gizi otak dan perut. Makanan untuk perut dan buku bacaan untuk otak. 


Terakhir tentu tidak mudah menjadi pembelajar sejati. Karena selalu ada yang dikorbankan. Sehingga memilih jalan sunyi itu melelahkan. Hanya orang tertentu saja yang berkomitmen kuat bahwa pengetahuan harus terus dilestarikan sekalipun kita sudah terjun di dunia kerja. Dunia masyarakat yang jarang menghargai proses melainkan bertumpu pada hasil. Maka dari itu seringlah kita berdiskusi minimal bertaya pada diri sendiri hal apa yang masih diingat saat perkuliahan dulu. Hal apa yang masih dicatat ketika perdiskusian gayeng itu. []


The Woks Institute rumah peradaban 6/8/24

Komentar

  1. Memang sulit jika sudah terhimpit kebutuhan dan waktu. Nyaris tak ada waktu untuk berdiam sejenak dan membuka buku.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde