Langsung ke konten utama

Mba Pinut : Spektrum Maiyah, Pantomim dan Kepedulian Pada Disabilitas




Woko Utoro

Malam Minggu (24/8/24) kami beruntung bisa bersua dengan Mba Pinut dan Mas Alfan di pondoknya Ning Fafa Nurus Sabil. Kebetulan Mba Pinut dan Mas Alfan singgah di Nurus Sabil selepas mengisi acara pantomim di salah satu sekolah dasar Islam di Kepatihan. Mba Pinut adalah keponakannya Mbah Nun alias Emha Ainun Najib dari saudara yang ke-8. Sedangkan Mas Alfan (asli Jember) adalah suami Mba Pinut, seorang aktivis pantomim.




Bersama kedua anaknya mereka berproses di Jombang. Di sana mereka mendirikan Komunitas Rumah Merdeka. Sebuah komunitas yang bergerak di bidang literasi, diskusi, kajian, aktivitas seni budaya dan disabilitas. Di sinilah segala macam kalangan seniman dan aktivis literasi berkumpul. Akan tetapi Mba Pinut dan Mas Alfan memilih pantomim sebagai media pendekatannya.

Terkhusus bagi Mas Alfan, pantomim tidak bisa disamakan dengan badut. Pantomim adalah sebuah kemampuan komunikasi dengan menggunakan gerak. Sedangkan badut adalah kemampuan menggunakan teknik sesulapan. Padahal pantomim lebih sulit dari badut sebab teknik dan olah rasa. Dari itulah lewat pantomim mereka road show ke setiap tempat untuk mengkampanyekan hidup tanpa narkoba, bahaya bullying, stop kekerasan, hingga hidup bertoleransi.

Mereka juga kebetulan memberdayakan teman-teman tuli atau tuna rungu untuk percaya diri bersosialisasi. Mereka juga merangkul banyak komunitas untuk saling menguatkan bahwa kita bisa. Bahwa berbeda itu tidak berarti kalah justru kadang kita mengetahui ada potensi tersembunyi. Di Rumah Merdeka Jombang mereka juga belajar bahasa isyarat, melatih kepemimpinan anak-anak hingga memunculkan jiwa seni.




Ketika saya tanya apakah tidak lelah melakukan road show dan berjejaring ke sana kemari. Mereka menjawab karena perjuangan ini adalah warisan Mbah-mbahnya dulu. Tentang disabilitas misalnya mereka belajar dari orang tua yang dulunya guru di SLB. Mereka telah mewariskan spirit untuk berjuang dalam kebersamaan dan kepedulian. Jika Cak Nun bergerak di forum Maiyah maka mereka di forum Rumah Merdeka dan sasaran utamanya adalah anak-anak.[]

the woks institute | rumah peradaban 25/8/24


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde