Langsung ke konten utama

Mengais Berkah di Pesantren




Woko Utoro 

Malam minggu seru. Santri-santri berkumpul di Pesantren Subulussalam asuhan Bunda Salamah Noorhidayati dan Abah Zainal Abidin. Para santri berkumpul dalam rangka pembukaan ta'lim semester baru dan penutupan ta'aruf santri baru.

Yang menarik dalam rangkaian acara tersebut adalah pesan-pesan dari pengasuh pesantren. Pertama, kata Bunda Salamah bahwa pesantren itu gudangnya keberkahan. Maka ada titik beda anak yang di pesantren dan di kost. Titik beda tersebut terdapat pada sunnah ma'had yaitu : sholat berjamaah, ngaji dan sorogan al Qur'an.

Seorang mahasiswa sekaligus memilih menjadi santri di pesantren akan mendapatkan keberkahan ilmu dan waktu. Berkah ilmu yaitu mendapatkan tambahan pengetahuan di luar dunia kampus. Maka tidak salah jika pesantren adalah lembaga tafaqquh fiddin atau tempat mendalami agama. Sedangkan berkah umur adalah sebuah kondisi di mana seseorang menjalankan amanah Allah berupa nikmat kelapangan. Hal itu juga termaktub dalam Surah Al Asr "Demi Masa".

Kedua, kata Abah Zainal alasan seseorang berada di pesantren adalah mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab pesantren adalah tempat menempa diri, mengukir cita-cita dan membentuk akhlak. Bukankah Nabi Muhammad SAW diturunkan oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.

Dari itulah pesantren berfungsi mempersiapkan santri agar menjadi manusia yang berakhlak mulia. Karena akhlak harus lebih tinggi dari ilmu. Kita boleh berilmu, dianjurkan pintar dan menjauhi kebodohan akan tetapi lebih utama beradab, akhlak karimah.

Terakhir sebagai santri harus grapyak, blater alias ramah dengan orang lain. Abah Zainal menekankan jika santri tidak boleh diam. Terutama ketika berinteraksi dengan masyarakat santri harus memiliki sensitivitas etika. Santri harus belajar menempatkan unggah-ungguh, etika moral ketika membaur dengan masyarakat. Itulah yang akan menjadi modal berharga yang dibiasakan sejak dari pesantren.[]

the woks institute l rumah peradaban 1/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde