Langsung ke konten utama

Alkohol, Riya dan Setruk




Woks

Kita tahu bahwa sebagian dari penyakit dalam tubuh tidak langsung membunuh seperti serangan jantung. Ada beberapa penyakit dalam yang ternyata bersifat laten alias menggerogoti secara perlahan. Penyakit seperti kanker memiliki hormon atau kelenjar yang kapan saja bisa mengganas. Atau juga setruk yang mematikan sebagian anggota tubuh secara perlahan. Penyakit itulah yang kita pahami menurut pendapat medis.

Dalam agama tentu penyakit tersebut akan selalu berhubungan satu sama lain. Misalnya agama menyebut salah satu penyakit hati seperti riya. Penyakit tersebut bekerja menggerogoti diri secara perlahan. Riya tidak hanya dimaknai pamer atau senang dengan posisi tenar, cari panggung akan tetapi bagi Ibnu Athaillah Syakandary orang yang beribadah berharap tidak ingin dilihat orang lain juga disebut riya. Dalam Kitab Minahus Saniyah dan Bidayatul Hidayah dijelaskan bahwa riya diibaratkan seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di tengah malam gelap gulita. Jadi sangat tidak terasa riya merusak ibadah. Riya selain mampu merusak ibadah juga amal dan ilmu. Penyakit itupun bagian dari syirik khafi atau tersembunyi. Dan riya tersebut sulit untuk dicarikan obatnya selain pertaubatan.

Penyakit laten yang menyerang hati tersebut tak ubahnya seperti para pemabuk alkohol. Awalnya mungkin sangat enak dan menggiurkan akan tetapi lambat laun akan merusak badan. Di Eropa orang mengkonsumsi alkohol karena fungsinya untuk menghangatkan tubuh dari hawa dingin. Akan tetapi walaupun demikian jika terlalu berlarut-larut akan berbahaya. Alkohol bisa menghangatkan badan karena ada proses kontraksi dengan darah. Dengan begitu aliran darah lancar bahkan bisa mengikis glukosa penyebab diabetes. Akan tetapi ketika takaran alkohol over maka bisa menyebabkan aliran darah yang masuk ke otak berlebihan atau terjadi pembakaran akibatnya otak menjadi error. Salah satu penyebabnya karena hati yang seharusnya berfungsi sebagai filter justru tidak berfungsi dengan baik. Itu alkohol di Eropa bagaimana dengan di Indonesia? di sini justru menjadi alat pemuas alias pelampiasan mereka yang kebingungan arah. Padahal dengan aktivitas itu mereka tengah memesan kematian sedini mungkin.

Jadi intinya baik itu riya, alkohol dan setruk sama-sama tidak baik bagi keberlangsungan hidup. Ketiganya adalah bagian dari ujian seseorang hamba untuk selalu belajar akan kekurangan diri sendiri. Baik itu penyakit hati maupun fisik keduanya harus diilmui dan dicarikan obatnya. Jangan sampai dianggap sepele. Maka dari itu salah satu cara menjadi tabib bagi diri sendiri adalah dengan selalu mengevaluasi diri dan tidak berburuk sangka terhadap orang lain.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde