Langsung ke konten utama

Catatan Seminar Internasional bersama Akademisi Iran




Woks

Pada Rabu 7 Desember 2022 saya berkesempatan mengikuti seminar Internasional yang diselenggarakan oleh HIMMA Aqidah Filsafat UIN SATU Tulungagung. Bertempat di lantai 6 gedung KH. Saifuddin Zuhri acara ini berlangsung ramai dan penuh sesak. Cara tersebut menampilkan tema, "The Contribution of Islamic Philosophy to Dealing with Local Dynamic and Global Challenges" dan diberi sambutan oleh Prof. Dr. Akhyak, M.Ag (Direktur Pascasarjana) serta dipandu oleh moderator muda Dr. Rizqa Ahmadi, Lc, MA., closing oleh Dr. Mulia Ardi, M.Phil selaku Kaprodi AFI Pascasarjana.

Acara ini hasil kerjasama UIN SATU Tulungagung dengan ICC Jakarta dan Sadra Institut. Dalam acara ini selain seminar juga berisi MoU dengan beberapa perguruan tinggi di Iran yang harapannya terus bekerjasama dalam bidang pengembangan keilmuan dan peradaban. Dalam sambutannya mewakili rektor, Prof. Dr. Abad Badruzaman, Lc, M.Ag mengatakan bahwa tradisi keilmuan di Iran dari dulu hingga kini tidak mandeg. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya tokoh serta produk pemikiran yang terus dikaji. Beliau juga berkisah ketika dulu mendapat beasiswa short course di Qum Iran selama beberapa hari.

Setelah sambutan usai barulah acara inti dimulai. Acara seminar ini selain di moderatori oleh Dr. Rizqa Ahmadi, Lc, MA juga bahasa Persia diterjemahkan oleh Mr. Akmal. Dalam pengantarnya Dr. Rizqa mengatakan bahwa era kekinian kalangan kita seperti ada Ketakutan akan belajar filsafat. Filsafat seperti menjadi momok menakutkan bagi anak muda, padahal filsafat adalah keilmuan yang sangat kaya akan manfaat terutama dalam membuka ruang dialog antara pikiran dan alam terbuka.




Pada sesi pertama narasumber Prof. Dr. Abdulmajed Hakimollahi (Al Mustofa International University Iran) menyampaikan materinya. Menurut beliau orang belajar filsafat itu ibarat kebingungan di atas kapal di tengah lautan yang di mana di sana terdapat beragam jurusan seperti biologi, kimia, kedokteran, filosof politik, dll. Akan tetapi di tengah kebingungan itu pada siapa kita bertanya? Hanya filsafatlah yang bisa menjawab problematika ontologis dan eksistensialis tersebut. Tema bagaimana filsafat dapat berkontribusi besar untuk masyarakat adalah jawaban atas keraguan tersebut. Lantas peran filsafat: arah membedakan benar dan palsu, agama, moralitas, politik budaya, ekonomi, ketatanegaraan dan ilmu lain. Sedangkan element of the civilization: religi, moral, politik culture, knowledge, civilization. Dan sangat jelas bahwa filsafat Islam dapat membangun peradaban.

Selanjutnya narasumber kedua, Prof. Dr. Mahdawi Mehr (Chancellor of Imam Reza University and Radhawi University Iran) berbicara mengenai salah satu pemikir, mufasir, sufi, filsuf, teolog, dan tokoh besar Iran yaitu Sayyed Husein Thabathabai (w. 1981). Kata beliau ilmu filsafat itu saling melengkapi komplementer terhadap ilmu lain. Jadi filsafat itu tidak bisa dipisahkan dalam fan ilmu manapun. Lanjut beliau bahwa Sayyed Husein Thabathabai adalah pemikiran besar Iran dan salah satu karyanya adalah Tafsir Al Mizan. Corak tafsir yang memiliki karakteristik tafsir quran bil qur'an. Tafsir Al Mizan juga ditulis berdasarkan penguatan ilmu lain dan rasio. Sosok besar itu juga tak lain merupakan pengagum Ayatullah Khomaini dan Mulla Sadra. Bahkan murid-murid juga banyak menjadi tokoh besar di antaranya; Murtadho Muthahhari, Jawadi Amuli, Mishbah Yazdi dan Behesyti. Bahkan beliau juga bercerita bahwa Jawadi Amuli pernah ditugaskan untuk mengirimkan surat kepada Michael Gorbachev untuk masuk Islam.

Narasumber ketiga yaitu Dr. Abdelaziz Abbacy (Director of Sadra International Institute Indonesia) yang ternyata memberikan seminar dengan fasih berbahasa Indonesia. Beliau mengatakan bahwa manfaat belajar filsafat adalah untuk mengajak seseorang bernalar. Nalar rasio adalah anugerah dari Tuhan kepada manusia untuk bekerja dan beribadah. Selain itu filsafat juga selalu menggiring orang berpikir ontologis dari mana, untuk apa dan mau ke mana? bukankah tujuan hidup adalah untuk bahagia. Dan jika bahagia maka kebahagiaan seperti apa yang ingin diraih. Nah, filsafat berkembang melewati pertanyaan esensial tersebut dan itulah yang membedakan dengan filsafat Barat dengan aliran rasionalis empiris. Orang Eropa selalu mengatakan bahwa empiris harus dibuktikan dengan kuantitatif akan tetapi mereka tumpul jika bicara hari akhir (kemana setelah mati).

Pembahasan filosofis sesungguhnya objeknya manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui segalanya melalui akalnya. Akan tetapi Barat ingin menikmati seluruh dunia dan mencoba untuk saling mengartikan manusia. Cuma saja mereka gagal paham soal manusia dan pasca kematian. Karena mereka memiliki anggapan manusia sama dengan hewan padahal manusia itu mahluk yang bernilai. Intinya filsafat itu bernalar dan berpikir, pungkas beliau.

Pembicara pamungkas yaitu Dr. Hamid Reza Sulki (Director of Strategic Center Tehran Iran). Sambil melempar senyum dan guyonan beliau sangat paham bahwa topik terakhir selalu akan membosankan. Hal itu justru membuat gelak tawa peserta seminar. Dalam pemaparan singkatnya beliau bicara mengenai filsafat dan tantangan global. Lantas apa tantangan filsafat dan kita selain power? Menurut beliau power atau kekuatan sama dengan qudrat dalam istilah Islam. Qudrat adalah memilih melakukan atau tidak intinya. Jika pilihan manusia cenderung negatif maka seperti dikatakan Mulla Sadra bahwa itu adalah kondisi kejiwaan untuk hewan bukan manusia. Sebab perbedaan manusia dan hewan adalah pada akal pikirannya. Kata beliau Qudrat itu : berkehendak iradah, ilm, hayat. Saya bahkan menambahkan bahwa permasalahan dunia selain power issue adalah kebodohan.

Manusia itu bisa berkehendak akan tetapi juga harus berilmu dan menghidupkan bukan mematikan. Maka dari itu pembuktian kekuatan ada pada sebuah komunitas dan tidak menyendiri. Salah satu kekuatan manusia adalah kharisma : menyihir. Dengan kharisma seseorang bisa dihormati tanpa harus mengkampanyekan dirinya bernilai. Dan intinya adalah mereka yang berlindung pada kekuatan Tuhan tak akan kalah. Power itu bisa diarahkan dan dijinakan dan siapa yang dapat menaklukkan kekuatan tersebut? Dalam hal permasalahan power ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan persatuan? lantas, di sinilah para peserta seharusnya bertanya. Dan sayangnya saya yang ingin bertanya itu harus puas, karena waktu tidak memihak. Jadilah saya hanya bisa terdiam sambil membaca ulang catatan pertanyaan yang akan disampaikan dalam bahasa Suriname haha. Sekian.

the woks institute l rumah peradaban 8/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde