Langsung ke konten utama

Catatan Ziarah Ki Ageng Muhammad Besari




Woks

Setelah kemarin kami berziarah ke makam Bung Karno pada esok harinya yaitu Sabtu pagi langsung bertolak ke Ponorogo. Saya sebenarnya bukan salah satu rombongan yang diajak ke sana karena memang sejak awal sudah diplot oleh beberapa santri. Tapi pagi hari secara mendadak Bu Nyai langsung mengajak dan saya pun mendadak ketar-ketir karena ajakan tersebut. Jadilah dalam ketergesaan itu saya ikut rombongan padahal belum mandi dsb.

Sebenarnya acara ke Ponorogo tersebut dalam rangka mengantar manten salah satu adik Bu Nyai. Akan tetapi karena mobil charter-an jadi kami bisa menambah lokasi untuk dituju. Dan kebetulan lokasi itu adalah makam Ki Ageng Muhammad Besari Tegalsari. Kata Abah beberapa waktu lalu kita ke sana masih kurang puas maka saat inilah kesempatan yang tepat. Singkat kisah ketika kami sudah berangkat di tengah perjalanan sekitar kampus saya teringat bahwa HP tertinggal di pondok. Sontak saja saya pasrah bahwa karena tergesa-gesa tersebut akhirnya sampai lupa benda yang menjadi jantung kedua itu. Tapi apalah daya saya akhirnya meniati untuk one day not gadget.

Kami pun melaju dengan beberapa sopir santri yang sudah berpengalaman dalam mengantarkan jamaah untuk ziarah. Awal perjalanan Mas Rama dari Jombang bertindak sebagai supirnya. Perjalanan begitu asyik dan kami selalu disuguhkan pemandangan Trenggalek Ponorogo yang hijau ranau di antara perbukitan. Sampai akhirnya di sekitar Bendungan Tugu kami singgah sejenak di salah satu mushola sekaligus berganti sopir. Kali ini bersama Mas Haris dari Blitar tak lain lurah pondok domisioner.

Kami pun melaju pelan namun pasti. Dalam perjalanan awal memang sudah terasa panas. Cuaca memang tampak ekstrim dan hujan tidak kunjung turun. Akhirnya kami tetap menikmati. Ketika sampai di lokasi hajat yaitu Purwosari Lengkong Ponorogo kami pun langsung disilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Saya tentu sangat senang dan menikmati selain bisa melihat prosesi tradisi Jawa juga menikmati hidangan berupa nasi putih, acar plus daging sapi yang direndang tanpa kuah. Selain itu kotak berisi jajanan tersebut juga terdapat masing-masing dua buah rokok kretek merk 76 dan itulah yang diserbu teman-teman. Maklum anak santri tidak punya uang untuk beli rokok haha.

Lanjut kami pun setelah usai di acara manten langsung menuju ke Jetis Tegalsari tepatnya ke Gebang Tinatar tempat Mbah Muhammad Besari dan keluarganya disarekan. Di sana kami shalat dhuhur dan asyar dengan qashar jamak ta'dhim yaitu shalat yang menggabungkan dua waktu dalam satu waktu sekaligus meringkas jumlah rakaatnya. Setelah itu barulah menunggu sejenak karena makam masih diziarahi oleh rombongan lain. Di sela itu saya pun langsung mengisi botol berisi air berharap ngalap berkah sumur Mbah Muhammad Besari.

Singkatnya kami pun langsung berziarah, berdoa, bertawakal di makam beliau dengan puasnya. Setelah usai langsung saja menuju warung di sekitar makam yang biasanya jika malam Jum'at sangat ramai dikunjungi oleh peziarah maupun warga sekitar. Kami memesan beberapa gelas berisi es karena memang suhu sangat panas dan gorengan hangat yang tersaji. Setelah itu kami langsung bablas menuju Tulungagung karena memang mobil sudah di tunggu pemiliknya. Ternyata tepat jam 15:30 kami sampai pondok dengan selamat. Sekian cerita sederhana kami semoga kami mendapatkan keberkahan dalam perjalanan singkat ini.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/12/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde