Langsung ke konten utama

Tentang Perjokian




Woks

Apa yang ada di benakmu ketika mendengar istilah "joki". Tentu beragam tanggapan dalam mengartikan berkaitan dengan istilah joki. Menurut KBBI joki adalah sebuah cara untuk menggantikan atau penunggang dalam sebuah cabang olahraga biasanya cabang berkuda. Akan tetapi akhir-akhir ini joki menjadi bermakna negatif karena berhubungan dengan sebuah pekerjaan.

Makna joki yang saya temukan di antaranya: Pertama joki supir baik itu supir charter-an maupun supir ojek. Akan tetapi pekerjaan ini hanya berkaitan dengan jasa tenaga dan fasilitas motor maupun mobil. Kedua joki pemain pengganti dalam sebuah adegan film. Pekerjaan ini disebut juga stuntment atau jasa bertukar posisi untuk diperankan oleh ahlinya. Misalnya adegan laga yang bisa membahayakan talent utama. Ketiga joki jasa ujian baik ujian SIM maupun paket dalam sebuah seleksi negara. Joki ini biasanya mengeluarkan biaya terutama bagi pemesannya.

Keempat joki pemutar lagu biasanya merupakan pekerjaan dalam sebuah majelis karaokean. Kelima joki tugas. Pekerjaan ini merupakan jasa sekaligus fasilitator untuk membuat tugas akademik dimulai dari makalah sampai tugas akhir dari skripsi, tesis hingga disertasi. Awalnya pekerjaan ini hanya menawarkan jasa ketik atau membuatkan PPT akan tetapi lama kelamaan merambah juga ke tugas akhir secara utuh. Di bagian ketiga inilah yang menjadi ulasan utama dalam catatan kecil ini.

Saya awalnya bertanya bagaimana hukum joki tugas. Ternyata saya langsung mendapat jawaban lewat buku hasil Bahtsul Masail dalam rangka Haul PPHM Ngunut tahun 2022. Di sana diterangkan bahwa hukum joki tugas yaitu mubah apalagi tugas tersebut hanya berupa mengetikan, membuatkan PPT, membuat cover dsb. Setelah itu joki hukumnya haram ketika di dalamnya terdapat praktek kecurangan, plagiarisme, manipulasi, serta ijab lainya yang mengandung penipuan baik secara individu maupun kepada instansi. Hukum tersebut berlaku bagi mereka yang jelas-jelas memproklamirkan diri sebagai "jasa joki". Jadi sangat jelas jika terdapat unsur yang dilarang baik secara syara maupun ketentuan akademik yang berlaku maka uang hasil joki tersebut adalah "haram".

Di luar konteks bantuan jasa dalam arti positif jasa joki semakin kemari makin mengkhawatirkan. Sebab pada akhirnya keuntungan adalah tujuan utama. Yang paling diingat tentu saat terjadi kemarin di mana ada orang yang rela menjadi joki untuk memvaksin dirinya demi menggantikan orang lain. Joki-joki itu juga menyebar kepada pendaftaran bantuan prakerja salah satu program pemerintah diperuntukkan untuk mereka yang terdampak pandemi. Dan sekarang fenomena joki dalam hal apapun bukan rahasia umum lagi dan di sini salah satu perjuangan untuk memutus mata rantainya.

Mengapa joki terus menyebar karena tak lain bukan tanpa alasan perjokian adalah ladang basah. Banyak hal bisa dijokikan mungkin dalam istilah tradisional di perdagangan adalah "blantik" yang kita tahu bahwa itu adalah profesi untuk mengoper sebuah barang dari tangan pertama ke tangan selanjutnya. Tentu secara harga akan diluar rasio penjualan awal. Selain karena keuntungan joki sebenarnya karena niat memberikan jasa dan fasilitas. Misalnya dalam tugas, orang yang membeli jasa joki karena beberapa alasan seperti: kesibukan, kecelakaan, ketidakmampuan, dan kemalasan. Alasan terakhir barangkali menjadi hal yang sangat menyedihkan. Bisa jadi bagi joki bukan hal yang bermasalah karena mendapat keuntungan. Akan tetapi bagi hati nurani semua itu adalah hal yang miris.

Praktek perjokian terutama dalam tugas secara hati nurani memang menurunkan citra akademik. Dari sana seseorang secara individu sebenarnya tengah menurunkan derajat akademiknya yang padahal sedari awal manusia terlahir dengan segala potensinya. Tapi apalah daya fakta menyebutkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia memang "mageran". Mereka lebih memilih menjalankan uangnya untuk memuluskan segala hal. Maka dari itu praktek perjokian sejatinya lebih mendekatkan pada kecurangan alias manipulatif. Praktek perjokian justru menurunkan akal serta tidak percaya pada potensi yang diberikan Tuhan. Jika sudah demikian apa mau dikata bahwa sampai kapanpun "kejujuran" selalu tersembunyi dan mahal harganya.

the woks institute l rumah peradaban 21/12/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde