Langsung ke konten utama

Catatan Haul Gus Dur ke-13




Woks

Sejak magrib orang-orang sudah berjubel di tempat acara haul. Memang sejak awal animo jamaah tak berkurang baik peziarah maupun yang hadir haul. Kami pun tak mau kalah dan segera memasuki acara di masjid ndalem termasuk juga shalat isya di sana.

Setelah itu acara dimulai dengan pembukaan, pembacaan yasin, tahlil, qira, sambutan, tausiah dan doa. Sebelumnya kami juga sudah mendapat sajian kue dalam box serta satu buah stiker Gus Dur dan beberapa permen. Setelah itu barulah kami mengikuti acara dengan khidmat. Walaupun Gus Mus, Habib Luthfi dan Kiai Miftahul Akhyar tidak hadir tapi tidak mengurangi kami untuk terus mengikuti acara sampai akhir.




Singkatnya dalam sambutan keluarga diwakili Ning Zanuba Arifah Hafsoh atau Mba Yeni Wahid termasuk juga pengasuh PP. Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz. Dalam sambutannya Mba Yeni mengatakan bahwa untuk memahami Gus Dur sangatlah mudah. Karena Gus Dur itu jika dirumuskan dalam satu kata adalah "seimbang". Ya Gus Dur itu seimbang dalam segala hal termasuk pada hal material dan spiritual. Dan pastinya dalam hal pembelaannya terhadap minoritas tak ada bandingannya.

Gus Dur itu sosok manusia ikhlas dan cuma karena Allah. Beliau sering menyetir dawuh Ibnu Athaillah Syakandary bahwa benamkan dirimu ke bawah lalu injaklah, biarkan hati mu naik ke atas. Begitulah Gus Dur jadi ia tidak berpikir apa-apa lebih lagi berkepentingan. Semua adalah untuk Allah bagi beliau. Dalam hal kemanusiaan Gus Dur berpegang pada filsafat Jawa yaitu, "hamemayu hayuning sasama lan bawono" atau mengajarkan hidup damai dengan sesama serta terus memperbaiki kehidupan. Gus Dur lebih tertarik membela minoritas daripada mayoritas. Karena bagi Gus Dur mereka yang mustadafinlah hang perlu dibela.

Singkatnya langsung ke tausiah yaitu disampaikan oleh KH. Agus Ali Mashuri Sidoarjo. Dalam tausiyahnya beliau menyampaikan bahwa Imam Sufyan bin Uyainah berkata agar kita menjadi bagian orang sholeh maka harus pula mencintai orang sholeh. Hal itu ditegaskan pula oleh Ibnu Sirrin bahwa lihatlah darimana kamu mengambil agamamu. Jika kita mengambil asal saja maka wajar jika cara beragama kita salah. Tapi jika orang shaleh menjadi rujukan seperti Mbah Hasyim maka amanlah cara beragama kita. Itulah pentingnya sanad keilmuan dalam mempelajari agama.




Lanjut beliau bahwa kita jangan takut mati tapi menghargailah kehidupan. Salah satu cara menghargai kehidupan adalah dengan memanfaatkan waktu. Setelah itu jika ingin dipanjangkan umurnya maka gemarlah bersilaturahmi. Hidup itu harus terus bahagia karena happy itu menyebabkan hormon menaikan dopamin dan agar terus sehat. Catatan khusus bagi santri Tebuireng adalah agar rajin mencatat termasuk sejarah resolusi jihad itu harus ditulis. Jangan sampai ditulis oleh orang lain dan menyebabkan distorsi. Beliau juga berpesan untuk sangu yaitu membuka kembali al Qur'an surah Al Maidah ayat 2 dan Al Anfal ayat 33. Kata Gus Ali kekuatan terbesar dunia pesantren dan jangan takut dengan bom nuklir atau senjata laras adalah sholawat, istighfar. Sholawat kita terus berwasilah pada kekasih junjungan alam Nabi Muhammad SAW dan istighfar mohon ampun kepada Allah SWT.[]

the woks institute l rumah peradaban 23/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde