Langsung ke konten utama

Euforia Pemilihan Lurah PPHS 2022




Tepat di malam Jum'at 21 Jumadil Awal/15 Desember 2022 PP. Himmatus Salamah Srigading Tulungagung melaksanakan pemilihan lurah periode 2022-2023. Suksesi kepemimpinan di sini baru memasuki generasi ke-5 dimulai sejak Mas Arif, Mas Amir, Mas Qowim dan Mas Haris. Tentunya malam itu kita menjadi saksi akan terpilihnya pemimpin pondok yang baru.

Acara pemilihan lurah pondok ini diawali dengan pembukaan oleh MC Mas Rama dan qiraatul qur'an oleh Mas Ainul As Sarani. Setelah itu acara pembacaan Maulid Simtudurror oleh Grup Shalawat PPHS menjadi rangkaian utama pemilihan. Setelah usai tibalah acara sambutan yaitu lurah pondok Mas Haris dan ketua KPU yaitu Mas Dwi Prasetyo (Jikon). Dalam sambutannya Mas Haris berpesan untuk berkhidmah secara serius selama di pondok, saling bekerjasama satu dengan lain, tidak membedakan tingkat semester, dan jangan menyepelekan tugas apapun selama di pondok. Sedangkan ketua KPU Mas Jikon sambutanya hanya menjelaskan teknis pemilihan, penyampaian visi misi hingga penghitungan suara.




Acara inti pemungutan suara pun berlangsung dengan baik. Satu persatu santri masuk untuk mendapatkan kertas suara dan memilihnya di bilik suara. Ada yang unik dalam resepsi pemilihan kali ini yaitu kotak suara berbentuk seperti kotak amplop pada amplopan orang meninggal. Setelah kami tanya apa maknanya ternyata ada 3, yaitu bahwa jabatan tidak boleh dibela mati-matian, jabatan itu akan berakhir seperti kematian dan memimpin itu mematikan ego individu untuk kepentingan masyarakat.




Singkat kisah acara penghitungan suara pun dimulai, satu persatu surat suara dibuka dan disaksikan oleh semua santri. Dari total 50 suara yang masuk hanya terdapat 2 suara tidak sah dan memenangkan Mas Idris dengan 21 suara, Mas Anwar 10 suara, Mas Wahyu 10 suara dan Mas Ilham 7 suara. Otomotif mayoritas santri memilih sekaligus menetapkan Mas Idris sebagai lurah pondok PPHS untuk periode mendatang. Setelah acara ini usai Mas Idris menyampaikan sekapur sirihnya bahwa semua hal ini tak lain bukti kepercayaan semua masyarakat pondok. Maka dari itu ia memohon dukungan, kerjasama serta arahannya agar aktivitas pondok ke depannya berjalan lancar.








Terakhir acara ini pun ditutup dengan doa, foto bersama, musyafahah atau bersalam-salaman dan makan bersama. Sebenarnya ada acara mauidhoh hasanah dari Abah Sholeh akan tetapi karena waktu sudah larut malam maka acara pun segera diakhiri. Dalam malam nan sejuk itu kita telah bersama-sama bersorak dan menyaksikan ada pemimpin baru telah lahir. Semoga amanah.

Pewarta : Woks (Santri Tukang Nulis)

the woks institute l rumah peradaban 16/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde