Langsung ke konten utama

Kursi




Woks

Saya ingat 2013 awal ketika secara resmi menjadi siswa Madrasah Aliyah (MA) ada satu hal menarik yang masih tercatat rapih hingga hari ini. Ingatan itu berkaitan dengan kursi yang disampaikan oleh Bapak Muhammad Saekhu, S.E. Dalam pelajaran ekonomi di sela-sela pembahasan beliau menjelaskan mengenai kursi dan guru. Kata beliau jangan sampai siswa menduduki kursi gurunya itu tidak sopan, tidak baik. Perihal demikian beliau sampaikan karena pesan dari guru-gurunya dulu bahwa menduduki kursi guru akan berlari dari keberkahan.

Pada 2016 saya mondok di salah satu pesantren kecil di Tulungagung Jawa timur. Di pesantren ini saya mendapatkan ilmu berharga salah satunya mengenai kursi. Barangkali pelajaran tersebut adalah gelombang yang saling bertalian dengan pepeling Pak Saekhu tersebut. Di pesantren tersebut saya belajar bahwa para santri tidak ada yang berani shalat di atas sajadah Abah, bahkan di kursi biasa beliau duduk pun demikian. Para santri memang meyakini bahwa menduduki kursi atau sajadah Abah adalah su'ul adab.

Pada 2022 awal saya berkesempatan sowan ke salah seorang guru dari jalur perempuan. Beliau adalah pengamal tarekat Qadiriyah an Naqsabandiyah yang dibimbing oleh Syeikh KH. Masykur Zuhdi Mojosari Tulungagung. Suatu ketika ketika saya di ndalem beliau dan disuruhlah untuk duduk di sofa nan empuk. Sambil menunggu beliau menyeduhkan secangkir kopi saya pun duduk dengan tenang. Ketika usai beliau mempersilahkan saya meminum kopi tapi anehnya beliau justru duduk di lantai (deprok). Sekilas saja secara spontan saya langsung ikut duduk di bawah sofa tersebut.

Setelah usai dalam jamuan sederhana itu saya tidak tahu apa-apa. Seketika di saat akan pamit beliau bercerita bahwa ada banyak orang ketika bertamu ke sini yang gagal dalam sebuah ujian. Saya sontak saja kaget apakah ada hubungannya dengan pembicaraan di ndalem tersebut. Ternyata benar saja beliau menjelaskan bahwa jika ada orang lebih sepuh duduk di bawah kursi segeralah kita turun dan menyamakan posisi duduknya. Jangan sampai kita santai saja di atas dan tidak memperhatikan sekitar. Ini adalah bagian dari pembelajaran adab yang membutuhkan kepekaan.

Pada 2022 tepatnya di penghujung tahun di mana saya mendapati sebuah tragedi saling lempar kursi antar pemuda pergerakan dalam sebuah acara musyawarah nasional. Dari peristiwa itu saya langsung mendapat pelajaran kembali bahwa bisa saja semua hanya ilustrasi untuk besok hari. Mungkin hari ini mereka lempar kursi tapi besok ketika sudah menjadi orang yang menduduki kursi jabatan perkaranya beda lagi.

Begitulah sekiranya, dari kursi kita dapat belajar memang berada di atasnya begitu nikmat. Akan tetapi ada hal-hal yang sebenarnya merupakan pembelajaran buat diri sendiri. Kursi mengajarkan pada kita akan sebuah posisi baik di kala di atas maupun di bawah. Semua posisi itu hanya sekadar posisi namun bagi orang bijak berada di manapun adalah sebuah pembelajaran hidup.[]

the woks institute l rumah peradaban 11/12/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde