Langsung ke konten utama

Makna Logo PPHS Srigading


Woks




Ketika membuat logo SPS (Santrine Pak Sholeh) kami sempat konfirmasi bahwa logo utama berbentuk perisai segilima adalah dibuat oleh Mas Abu Zaini atas prakarsa Mas Arif. Lantas bagaimana makna filosofis di antara dua logo tersebut. Mari kita simak tulisan berikut:

Pertama, logo utama berbentuk segilima tersebut adalah bentuk ngalap berkah kepada pondok sepuh Ngalah Pasuruan asuhan KH. Sholeh Badruddin. Kebetulan pengasuh PPHS adalah Kyai Mohamad Sholeh.

Kedua, logo berbentuk segilima merupakan perlambang meneguhkan rukun Islam yang 5: Syahadat, sholat, zakat, puasa, haji.

Ketiga, warna dasar hijau melambangkan kesuburan. Bahwa santri harus bermanfaat di manapun berada.

Keempat, 9 bintang kuning adalah para priagung tanah Jawa yang sering disebut Walisongo sebagai juru dakwah Islam di Nusantara. Pondok berkiblat pada mereka yang berpegang teguh pada Ahlussunah Wal Jamaah.

Kelima, nama Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Tulungagung adalah sebuah cita-cita akan doa. Di mana PPHS adalah cita-cita untuk menuju keselamatan. Termasuk garis bingkai hitam dan putih adalah cita-cita amar ma'ruf nahi munkar juga bagian dari perjuangan ketebalan jiwa yang harus terus diasah.

Keenam, kubah hitam merupakan perwujudan akan perlindungan Islam sebagai agama yang hanif dan sempurna. Dan salah satunya kehidupan harus dibangun melalui ukhuwah Islamiah, Basyariah, Insaniah, Wathaniyah.

Ketujuh, pena bulu dan buku berarti senjata santri adalah tulisan dan bacaan. Kitab putih di bawah sebagai ilmu yang dibangun atas dasar nalar kritis di kampus sedangkan kitab kuning bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam kalangan pesantren.




Sedangkan logo SPS berawal dari iseng di mana dunia santri harus memiliki dua dimensi. Di mana logo perisai segilima mewakili yang formal dan SPS sebagai sebuah komunitas di luar pesantren. Logo SPS didesai oleh Mas Kasim dari Indramayu yang tak lain merupakan kawan penulis. Sedangkan logo tersebut dibuat oleh penulis sendiri pada sebuah kertas kosong. Beberapa makna yang dapat kita hayati adalah :

Pertama, SPS adalah akronim dari "Santrine Pak Sholeh". Penulis sejak awal membayangkan sosok pengasuh dengan KH. Ali Maksum yang sampai akhir hayat selalu dipanggil "Pak". Panggilan pak tidak melunturkan ke-kiai-an beliau justru hal itu merupakan tanda bahwa saking dekatnya antara guru murid. Kami mendeklarasikan bahwa sampai kapanpun beliau adalah pengasuh kami maka dari itu hubungan anak bapak ini tak boleh terputus.

Kedua, tulisan SPS perpaduan antara aksara Arab dan Indonesia menandakan semangat keislaman dan keindonesiaan. Di mana keduanya saling bersinergi antara Islam murni yang turun di Mekah dan corak khas Nusantara Indonesia.

Ketiga, warna hijau cerah menandakan semangat para pemuda untuk terus berbuat kebaikan di masyarakat sebagai dasar aplikasi yang telah didapatkan selama mondok. Selain itu warna hitam putih yang mengelilingi merupakan bagian tak terpisahkan dari jiwa santri dan masyarakat. Bahwa sesungguhnya kita selamanya akan berkhidmah untuk ummat.

Demikianlah uraian makna logo utama perisai segilima dan SPS. Semoga para santri semua dapat memahami apa yang menjadi itikad baik bahwa pondok dan santri adalah jangkar keislaman nan khas di Indonesia. Maka dari itu mari lestarikan, dukung dan perjuangkan.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde