Langsung ke konten utama

Riwayat Kepemimpinan di PPHS




Woks

Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading (PPHS) Tulungagung sebagai salah satu pondok salaf di wilayah kampus UIN tentu sangat menarik jika kita ulas seputar kepemimpinannya. Di pondok ini tentu memiliki ciri khasnya tersendiri terutama dalam kepemimpinan. Kepemimpinan di pondok diistilahkan dengan "lurah" yang berfungsi sebagai pengelola jalannya aktivitas kesantrian.

Soal kepemimpinan di PPHS tentu akan berbeda dengan di pondok modern. Secara corak dan kultur tentu akan menarik pondok salaf dikarenakan tidak memiliki garis formal seperti di pondok modern dengan ijazah, wisuda dll. Beberapa corak pemimpin yang pernah menjadi lurah di PPHS akan saya tulisan. Kebetulan sejak 2016 saya adalah salah satu santri yang menyaksikan di era 4 kepemimpinan yang berbeda yaitu : Mas Arif, Mas Amir, Mas Qowim, dan Mas Haris.

Pertama, Mas Arif adalah tipe pemimpin yang pengayom. Pada saat itu santri memang masih sedikit hanya sekitar 12 orang akan tetapi menunjukkan guyub rukun dan kesederhanaannya. Di antara para santri yang kurang doyan organisasi Mas Arif meraciknya menjadi santri yang minimal dapat mengikuti kegiatan pondok dengan baik. Selain itu di zaman Mas Arif antara pondok dan santri TPQ berjalan harmonis salah satunya lewat beragam acara seperti perlombaan, muludan dan bagi-bagi hadiah. Di zaman ini pula beberapa para sesepuh masih belum boyong seperti Mas Fauzi, Mas Saifuddin, Mas Ghozali, Mas Lukman, Mas Harun, dll. Termasuk sering membuat masakan sendiri dan sering ziarah ke Sunan Ampel dengan berjalan kaki dari rute Stasiun Semut sampai maqbarah.

Kedua, Mas Amir adalah tipe pemimpin kharismatik sekaligus penyendiri. Pada masa ini santri yang bertambah beberapa saja jadi total sekitar 19 orang. Di masa Mas Arif sampai Mas Amir santri masih terfokus pada sebuah TV kecil belum seperti saat ini dengan segala gegap gempita gadgetnya. Di era Mas Amir tidak banyak hal yang signifikan karena memang secara kuantitas santri masih sedikit dan memasuki masa transisi. Akan tetapi di era ini rutinan al Berjanzen masih begitu khas bersama beberapa warga dusun. Secara natural aslinya Mas Amir tidak berkenan menjadi pemimpin akan tetapi karena kebutuhan maka terjadilah suksesi kepemimpinan secara aklamasi.

Ketiga, Mas Qowim adalah tipe pemimpin orator berdarah dingin sekaligus super sibuk. Di era ini yang paling menonjol adalah kegiatan khotmil Qur'an serta kegiatan yang bersifat babad seperti ziarah, lailatus shalawat dan manaqib. Mas Qowim di bagian akhir kepemimpinan agak sedikit goyah karena harus berbagi dengan kepemimpinan di Kediri yaitu IPNU. Sehingga sinkronisasi antara pondok dan organisasi luar selebihnya diserahkan kepada wakilnya yaitu Mas Haris.

Keempat, Mas Haris adalah tipe pemimpin yang tegas hal itu terbukti bahwa ia disegani oleh anggotanya. Di era ini pondok berjalan maju walaupun beberapa konflik internal sering terjadi. Di era ini segala infrastruktur dan fasilitas pondok tersedia sehingga memudahkan santri untuk berkegiatan. Fasilitas berupa mixer, sound, hadrah serta alat masak, alat toilet dan parkir juga tercukupi. Di era ini kita menyaksikan banyak kegiatan berkaitan dengan shalawat sekaligus menjadi ciri khas. Ada juga kegiatan yang baru dilaksanakan seperti peringatan haul muassis pondok yaitu Haji Salim. Beberapa amaliah, roan massal, dan pengajian kitab pun dilakukan bergantian serta silih berganti.

Kemarin pada malam Jum'at 15 Desember 2022 kita mendapatkan kabar bahwa Mas Idris menjadi pemimpin ke-5 di PPHS ini. Bagaimana corak kepemimpinannya tentu kita tunggu kiprah dan khidmahnya. Semoga saja Mas Idris dan para pengurusnya dapat mengemban amanah sebagai hokage yang baru. Ia dapat belajar dari 4 kepemimpinan yang sudah berlalu di PPHS ini.

the woks institute l rumah peradaban 17/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde