Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan Haul Gus Dur 2022




Woks

Hampir 3 tahun saya sangat merindu Gus Dur. Di tengah kerinduan itu sejak lama saya mengidamkan bisa kembali ke sana cepat atau lambat. Alhamdulillah kemarin tepat 13 tahun berpulangnya Gus Dur saya bersama seorang teman bisa berziarah ke sana sekaligus hormat masyayikh Tebuireng.

Perjalanan kami dimulai pada tanggal 21 Desember 2022 tepat satu hari sebelum peringatan hari ibu. Kami berangkat sejak pagi buta setelah Shubuh menggunakan moda kereta Dhaha Penataran jurusan Jombang. Selama diperjalanan kami duduk bersama (sepertinya) mahasiswa pertanian salah satu kampus ternama di Surabaya. Kami bercengkrama banyak hal terutama seputar perjalanan dan Tulungagung. Hingga akhirnya tak terasa perjalanan itu harus diakhiri di stasiun Jombang.

Tanpa saya sadari ternyata sejak awal ada adik kelas kami di kereta dan baru menyapa ketika sama-sama turun menuju Masjid Agung Baitul Mukminin Jombang. Setelah melepas lelah beberapa saat salah satu hal yang saya minati adalah perpustakaan. Di masjid tersebut salah satu pojok terdapat sudut baca dan langsung saja kami berburu ke sana. Setelah beberapa menit kami memilah buku ternyata koleksi lawas dan lucunya baca judul dengan tema Muhammadiyah. Akan tetapi beberapa judul buku klasik dapat saya baca di antaranya ; Prof Quraish Shihab "Membumikan Al-Quran", Fazlur Rahman "Islam" dan Jalaluddin Rakhmat "Islam Aktual".




Setelah selesai membaca kami langsung berjalan kaki menuju pedagang kaki lima tepat di timur stasiun. Sambil menikmati hiruk-pikuk jalanan kami memesan nasi lodeh plus telur dadar ditemani segelas es teh dan ternyata pedangnya adalah orang Madura. Mendengar pedagang tersebut orang Madura teman kami, Mas Ibad sampai tertawa terpingkal-pingkal alasannya sederhana karena etnis Madura selalu ada di mana-mana. Setelah makan kami rokokan dan langsung tancap gas menuju Pondok Pesantren Tebuireng.

Sekitar jam 10 siang kami naik angkutan pedesaan atau orang menyebutnya Lin. Cukup 5 ribu perorang kami sampai di depan gerbang PP. Tebuireng yang khas itu. Kebetulan di sana orang-orang sudah ramai, pertama santri baru saja bagi rapot dan akan perpulangan. Kedua, acara khotmil Qur'an bil ghaib dilaksanakan di maqbarah masyayikh Tebuireng.

Langsung saja kami mengabaikan diri dengan berfoto di depan gerbang. Setelah itu kami menuju makam untuk berziarah dan ini yang utama dalam perjalanan singkat tersebut. Saya secara pribadi ingin rasanya mendekat di antara makam masyayikh Tebuireng khususnya Gus Dur, Kiai Wahid dan Mbah Hasyim. Tapi apalah daya keadaan yang membatasi jadi kami hanya bisa melafalkan yasin tahlil dari balik serambi lorong. Walaupun begitu saya sudah merasa bahwa rindu terobati.

Ketika akan keluar kami bertemu dengan Dr. Ridho, beliau adalah dosen saya ulumul Qur'an ketika di S-1. Kami pun bersalaman dan langsung berpisah. Di antara perjalanan tersebut gema tilawah Al-Qur'an tak henti-hentinya. Di setiap sudut corong-corong membran meneruskan alunan bacaan Qur'an nan merdu tersebut. Suasana para pedagang di kios-kios juga tak henti-hentinya mempromosikan dagangannya. Langsung saja kami menuju Museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy'ari (MINHA).




Di dalam museum kami mengeksplorasi benda-benda peninggalan dan beberapa pengetahuan yang ada. Tapi sayang koleksi museum terbilang masih minim dan segala fasilitas seperti ke lantai 1 dan 2 belum dibuka. Semoga saja peninggalan Mbah Hasyim dan beberapa ulama Nusantara bisa dirawat dengan baik. Singkatnya setelah itu kami berjalan-jalan di sekitar area parkir makam Gus Dur. Di sana kami menikmati segelas es dawat pelepas dahaga karena memang suasana begitu panas. Setelahnya kami langsung ke Masjid Ulil Albab Pondok Putri Tebuireng. Di sana kami shalat dhuhur dan beristirahat sampai sore hari.

Setelah mandi dan shalat ashar kami langsung menuju ke masjid ndalem untuk mengikuti acara shalat bersama Majelis Seribu Rebana asuhan KH. Nur Hadi (Pengasuh PP. Falahul Muhibbin Diwek) alias Mbah Bolong. Pasukan loreng oren hitam putih tersebut sangat bergairah dalam melantunkan shalawat. Padahal sore itu Jombang sempat diguyur hujan dan jamaah masih setia. Kami juga melihat JNA alias Jama'ah Ndandakne Awak bersliweran karena akan berziarah.

Kami hanya membayangkan Ya Allah Gus Dur betapa mulianya sampai detik ini orang-orang masih menziarahinya tanpa henti. Tapi demikianlah fakta membuktikan bahwa Gus Dur memang sosok yang ikhlas dalam perjuangan membela umat. Kata Mbah Bolong seluruh amal akan rusak kecuali yang ikhlas. Dan begitu lah Gus Dur sosok manusia nan ikhlas maka tak salah jika Allah mengangkat derajatnya. 

Dalam acara Majelis Seribu Rebana Mbah Bolong menjelaskan singkat dalam Kitab Riyadul Badi'ah bahwa orang akan dikatakan syahid salah satunya karena mati di jalan menimba ilmu. Dan kita tahu Gus Dur adalah sosok ahlu ilmi sebagai mana kakeknya. Selanjutnya Imam Suyuthi menegaskan juga bahwa orang yang gemar shodaqoh untuk para wali akan juga mendapatkan kemuliaan. Dan Gus Dur adalah sosok dermawan yang sirr tak pernah ada orang tahu kecuali saat kewafatanya.

Singkatnya setelah usai Seribu Rebana kami langsung mencari makan dan shalat magrib di masjid pondok putri. Setelahnya langsung bergegas mengikuti acara haul di areal utama masjid ndalem. Dan di sana ribuan orang sudah memadati. Kami juga berkesempatan shalat isya berjamaah. Barulah setelah itu rangkaian seremonial haul dilaksanakan yang terdiri dari pembukaan, pembacaan yasin tahlil, qiraah, sambutan dan tausiah.

Setelah usai acara haul kami langsung bergegas kembali ke masjid agung untuk beristirahat. Waktu sudah malam dan tumpangan ke sana sudah tidak ada. Kami sempat optimis ada teman dari Jombang yang akan mengantarkan. Akan tetapi karena ada halangan jadi ia tidak sempat mengantarkan kami. Dengan terpaksa di tengah malam gulita kami berjalan kira-kira dari Tebuireng sampai RS NU. Sejak awal saya sudah mengira bahwa track perjalanan masih sangat jauh akan tetapi apa mau dikata semua sudah dilakukan. Untung saja kami masih bernasib baik ada seorang bapak memakai pakaian Anshor datang memberikan tumpangan. Dan selamatlah kita sampai di masjid agung.

Akhirnya kami istirahat di masjid agung sampai pagi. Setelah itu barulah kami naik bus Harapan Jaya jurusan Trenggalek. Setelah sampai beberapa kawan kami sudah menunggu untuk jemputan. Akhirnya kisah kami nan singkat tersebut usai sudah. Semoga kami diakui santrinya Mbah Hasyim. Amiinn.[]

the woks institute l rumah peradaban 23/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde