Langsung ke konten utama

Baca Qur'an dengan Istiqomah




Woks

Ba'da ngaji tafsir Jalalain Abah Sholeh dawuh kepada para santri untuk nderes Al Qur'an. Nderes Qur'an dimaknai sebagai tadarus atau membaca Al Qur'an. Jarang-jarang beliau dawuh seperti pengajian kali ini. Dari itulah setiap beliau dawuh saya selalu tidak ingin ketinggalan untuk segera menuliskannya.

Kata beliau nderes Qur'an najan telung ayat ben dinten supoyo urip e tentrem. Bacalah Al Qur'an walaupun tiga ayat agar hidup terasa tentram. Kata beliau jika tidak percaya coba rasakan saja. Karena Al Qur'an adalah sumber hidup umat Islam. Jika umat Islam sudah jauh dari kitab sucinya maka bersiaplah lahirlah petaka. Inti dari amalan apapun sebenarnya terletak pada istiqomah. Maka dari itu beliau menekankan nderes Al Qur'an.

Kata beliau nderes Qur'an itu tidak usah banyak-banyak sampai se-juz tapi setelah itu tidak baca lagi. Yang terpenting itu se ayat dua ayat akan tetapi terjadi konsistensi. Di sanalah nanti akan ada rahasianya tersendiri.

Dari pesan sederhana beliau tersebut tentu kita belajar bahwa Al Qur'an tidak boleh menjadi kitab suci terasing di tengah umatnya sendiri. Al Qur'an adalah titik pusat manusia muslim yang ingin kenal dengan Tuhan dan nabinya. Jangan sampai orang lain di luar Islam lebih paham Al Qur'an daripada diri kita sendiri.

Seharusnya kita malu sebagai pemuda jika tidak sering membaca Al Qur'an. Berapa banyak orang tua sepuh kecewa karena sejak mudanya tidak memanfaatkan untuk membaca kitab mujizat Nabi Muhammad SAW tersebut. Mereka bahkan rela untuk membeli kaca mata tebal hanya untuk nderes Qur'an.

Sebelum terlambat marilah kita tradisikan membaca Qur'an. Jangan sampai Al Qur'an hidup di bulan Ramadhan saja sedangkan di luar itu ia mati. Kita harus tahu bahwa Al Qur'an itu sangat luar biasa. Ia seperti Nabi Muhammad SAW yang di akhirat kelak akan memberikan syafaat pada pembacanya. Ini baru soal membaca belum mengerti kandungannya sampai mengamalkan ilmunya.

Saya jadi ingat kata Gus Qoyyum Manshur rahasia mengapa Mbah Arwani Amin Kudus dan Mbah Abdullah Salam Kajen awet muda dan bisa panjang umur. Beliau memberikan keterangan bahwa sang begawan Qur'an tersebut selalu membaca Al Qur'an dengan membaca teks kitabnya padahal kedua beliau seorang hamilul Qur'an. Ingat perlu diingat bahwa huffadz adalah penghafal Qur'an yang hanya sekadar hafal lafadz sedangkan istilah hamilul Qur'an adalah orang yang sudah manunggal tidak hanya bacaannya tapi menitis pada laku hidup. Seperti halnya orang hamil bayi, orang hamil Qur'an juga demikian sudah bersatu antara jiwa dan raga.[]

the woks institute l rumah peradaban 23/2/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde