Langsung ke konten utama

Sang Penyendiri




Woks

Tak ada hal yang menyedihkan selain kesendirian. Sendiri memang selalu berbalut sepi sedangkan suwung sebuah kondisi yang berbeda dari sekadar sepi. Sepi dan suwung memang dua entitas yang berbeda. Jika sepi merupakan kondisi di mana seseorang merasa sendiri sedangkan suwung sebuah keadaan di mana seseorang tengah melakukan pengosongan. Akan tetapi keduanya bisa bermakna material maupun dimensi batin.

Tidak semua orang tentu suka dengan kesendirian atau kesepian. Tapi tidak sedikit pula ada orang yang mampu merayakan kesepiannya. Mungkin saja sepi dan sendiri tercipta atas dasar sikap dan pikiran. Keduanya tentu sangatlah psikologis sekali dan bisa dengan mudah diciptakan oleh siapapun. Berikut ada beberapa tipe orang yang menyukai kondisi menyendiri dalam psikologi disebut juga introvert.

Pertama, ada orang yang menyediri secara absolut. Tipe orang ini sangat sulit untuk diajak komunikasi lebih lagi interaksi. Barangkali kamar dan kesunyian merupakan tempat ternyaman yang tidak bisa diganggu gugat. Kedua, ada orang tipe perenung yaitu mereka yang mampu merenung sekalipun dalam keadaan ramai. Orang tipe ini lebih merujuk pada istilah Jawa yaitu suwung hamengku ono alias mereka yang mampu berpikir di tengah keriuhrendahan.

Ketiga, ada orang tipe pemikir yaitu mereka yang menyendiri dengan maksud mencari inspirasi. Kadang kesendirian memang memunculkan ide kreatif. Kesendirian memang sesekali dapat melahirkan ide cemerlang. Maka dari itu tidak salah jika sebagian orang memerlukan sendiri tipe ini untuk mengambil jarak sekaligus berpikir objektif terhadap problematika kehidupan. Keempat, tipe orang yang selalu merasa kesepian sekalipun di tempat yang ramai. Tipe ini tentu dibayangi oleh pikirannya sendiri termasuk sering overthingking.

Sendiri sesekali memang perlu akan tetapi jika terlalu sering menyendiri bisa berbahaya. Kesendirian harus dirayakan sebagai sesuatu yang positif. Jangan sampai kita terjebak dalam kesendirian yang menenggelamkan. Seseorang perlu move on alias bangkit karena kesendirian rawan untuk melakukan sesuatu di luar dirinya. Sendiri harus dikelola sebagai dimensi batin yang dengannya seseorang dapat berpikir lebih jernih.

Jika kesendirian membuat seseorang menjadi tenang bolehlah sesekali kondisi itu kita akses sebagai metode penyembuhan. Tapi jika kesendirian menjadi kesenjangan antara diri dan batin mulai saat ini maka lingkungan sosial lebih baik menjadi pilihan. Memang interaksi sosial jauh lebih menguntungkan daripada kita sendiri dan tenggelam dalam jurang yang entah apakah kita sadar atau tidak sudah terperosok jauh.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/2/23

Komentar

  1. ku mau komentar kok mala jadi bingung jangan-jangan malah keliru dan terjerembab ke ranah suwung dalam artian tanda petik dua " " to mas Woks

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde