Woks
Hampir 5 tahun lebih saya mondok di PPHS selalu mendapati suasana yang sejuk dan menentramkan. Dulu ketika santri masih berjumlah belasan orang pondok begitu asri dan nyaman. Akan tetapi seiring berjalannya waktu perubahan di tubuh pondok begitu cepat dirasakan. Hal itu setidaknya karena faktor bertambahnya jumlah santri.
Di mana-mana rumusnya sudah jelas bertambahnya kuantitas belum menjamin kualitas. Bertambahnya jumlah sudah pasti akan banyak yang berubah. Saya tentu satu dari sekian santri yang mengikuti perkembangan pondok serta perubahannya. Baru kali ini perubahan itu nampak begitu mencolok. Penurunan kenyamanan di pondok sudah dirasakan sejak suksesi kepemimpinan dilakukan di bulan lalu. Dan hal itu masih bertahan hingga saat ini yang tentunya banyak faktor.
Perubahan tersebut tentunya membuat kita miris. Bagi saya pegiat esensi perubahan tersebut sangat memilukan hati. Betapa tidak saat ini santri seperti bukan umumnya santri padahal jika dihitung-hitung santri di sini juga kuliah. Tapi justru semakin jauh dari khittahnya sebagai santri. Saya tidak paham mengapa keilmuan di kampus ditambah pengajian di pondok justru tidak berdampak apapun pada diri. Seharusnya pendidikan baik di kampus maupun di pondok sesungguhnya sudah harus menjadi laku. Tapi fakta tidak menyebutkan demikian.
Yang membuat saya sedih adalah mengapa santri saat ini menutup mata padahal mereka melihat. Mereka tuli padahal mendengar. Mereka membisu padahal mampu bicara. Mereka mengerti akan tetapi tak membuka diri. Mereka sadar tapi tak berkesedaran. Mereka mampu tapi tak segera beranjak. Mereka kuat tapi pura-pura lemah. Mereka mahasiswa tapi memilih menjadi SMA. Semua itu aneh tapi menjadi sebuah kenyataan.
Ruang-ruang yang luas justru menjadi sempit karena gawai. Tanggungjawab yang disepakati justru dilanggar sendiri. Petuah-petuah yang dicatat justru hanya sebatas quote tak berarti. Motto yang terpampang justru segera usang. Kebijakan yang dibuat hanya berakhir sebagai daftar menu masakan semua tak berarti apa-apa. Banyak bicara tapi tak ada realisasinya. Di sinilah saya menjadi aneh. Mengapa hal itu terjadi. Banyak yang pintar tapi menutupi kepintarannya. Banyak yang mampu tapi menjauh dari kemampuannya.
Semua perubahan itu berkaitan dengan apa? tentu banyak hal mulai dari piket kebersihan, kesenjangan, pengajian, acara, adzan, shalat berjamaah, ngaji anak TPQ, makan bersama, dapur, kantin, kamar mandi, cuci pakaian, parkiran, hingga kepekaan. Jika semua orang sudah acuh tak mau tau lantas bagaimana nasib pondok kedepannya. Apakah kita mau diwakili oleh orang-orang yang tak peduli. Jika sudah demikian parahnya lalu apa yang mau dibanggakan. Anda tahu bagaimana bicara dengan orang bisu. Demikianlah keadaan pondok saat ini. Yaitu sebuah keadaan yang membuat siapa saja sedih mendengarnya.
Kecenderungan individualisme masih akut di sini. Kesadaran untuk membersihkan kamar dan aula masih terpaku pada jadwal piket. Mendahulukan emosi daripada esensi menjadi pemandangan tiap hari. Otonomi diri menjadi tidak berarti. Seharusnya kemampuan tidur malam harus juga mampu bangun pagi. Atau lebih mendahulukan menyapu daripada pujian sesudah adzan. Serta banyak lagi hal lain yang seharusnya menggugah hati untuk segera berubah.
Jika pondok terus-menerus begini maka tak ubahnya tempat mengaji menjadi sekadar tempat transit religi alias kos-kosan syari. Tak ada bedanya. Dan yang pasti percis dawuh Mbah Moen bahwa salah satu dari tiga kerusakan dunia yaitu karena keanoman alias pragmatisme, egoisme yang hanya memikirkan diri sendiri, kesenangan sesaat dan hawa nafsu. Jika sudah begitu bersiaplah pondok mencetak manusia culas bukan santri.[]
Tabik
Komentar
Posting Komentar