Langsung ke konten utama

Daun Gugur




Woks

Ku lihat tiap pagi daun-daun begitu hijau, tersenyum dan menyegarkan. Di antara dahan-dahannya menjadi tempat bertengger para burung yang bernyanyi. Kadang mereka ikut berdendang bersama siul-siul angin yang berhembus. Daun selalu menjadi simbol kehidupan dibandingkan akar. Daun adalah yang paling setia menahan sengatan sinar matahari.

Daun-daun memang sangat bahagia di antara rimbun-rimbunnya. Kadang mereka suka cita saat bunga-bunga bermunculan. Bunga yang menjadikannya buah dan tentunya cocok buat cuci mata. Daun memang sudah berkomitmen sejak lama saat perjanjian mereka dengan beberapa ulat. Lalu ulat itu melilit daun dan menjadikannya rumah. Rumah tempat menyimpan telur yang dijadikannya kepompong lalu berubah kupu-kupu. Tak hanya itu daun-daun kering menjadi santapan para burung menyusun sarangnya.

Saat siang daun-daun terasa gagah. Mereka menjelma payung dengan rimbunnya. Mereka sayup-sayup merayu para pejalan untuk berteduh di bawahnya. Mereka juga menjadi atap tempat berteduh dari hujan-hujan yang nakal. Daun memang nampak elok di pandang mata dengan perhiasan bunga buah yang siapa saja betah dibuatnya. Tapi sesekali ketika angin besar berhembus mereka sadar bahwa daun muda tumbuh di pucuknya. Atau sesekali ketika hujan deras daun-daun menunjukkan perasaannya. Saat panas nampak layu saat hujan terasa kedinginan.

Di akhir-akhir kisah daun memang telah mengantar banyak kenangan. Daun menjadi payung peneduh bagi para musafir. Daun menjadi tembok atas rapuhnya ranting-ranting kecil. Atau bahkan sang daun rela dimakan ulat menyerahkan segala macam hijau dan anggunya. Lantas daun-daun tua juga akan menguning melewati batas khayalnya. Daun akan kembali ke asal. Daun akan meranggas. Daun akan berguguran. Daun akan mati. Mereka rapuh dan terbang terbawa angin lalu. Daun lalu terinjak. Daun lalu menjadi santapan ternak-ternak. Daun akan musnah bersama bakteri tanah.

Aku pun bertanya pada diriku sendiri apakah ada daun sekuat daun jati, daun mangga, daun cemara, daun ecaliptus atau daun sukun yang bercabang. Entah apa nama daun tersebut yang jelas setiap daun punya perasaan ketika mereka gugur, terlepas di antara dahan dan ranting. Tapi daun-daun selalu nampak tegar, berdiri dan kokoh walaupun pada akhirnya membunuh diri sendiri. Dauh hanya akan menjadi siluet di pucuk malam atau melepas bayangan ketika senja tiba. Ia juga menyisakan angan-angan dan harapan. Tapi aku yakin daun tak pernah sendiri sebab reranting serta bunga-bunga kecil selalu memihaknya.

Daun yakin penolakan atas tingginya akar justru membuatnya semakin kuat. Daun tak pernah ingkar janji sekalipun luka menyelimuti. Ulat serta burung kecil yang mematuk juga tak pernah salah. Seperti pohon yang dilempari batu lalu memberinya buah pada anak-anak. Atau sesekali daun terbang dan masuk dalam karya seni para seniman. Daun tak akan pergi dan tak mau menyerah. Ia tetap konsisten menelusuri jalan hidupnya. Menjadi sahabat bagi pohon sambil mengatakan aku telah usai meninggalkan pucuk daun muda.

Di akhir kisah daun tetaplah daun. Ia telah melewati akan arti hijau, kuning, jatuh, kering dan hilang entah kemana. Dauh telah melewati ambang batasnya. Ia tak akan melupakan pohon, dahan, ranting yang menjadikannya ada. Daun hilang, pergi silih berganti.[]

the woks institute l rumah peradaban 1/2/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde