Langsung ke konten utama

Ngaji Literasi Edisi Buku Kaca Benggala




Woks

Minggu kemarin (12/2/23) tepatnya di pagi hari cuaca begitu cerah. Hari pun nampak teristimewa karena acara ngaji literasi kembali digelar setelah sekian kama vakum diterpa badai kesibukan. Kali ini ngaji literasi yang diinisiasi oleh Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung dimulai kembali dan menghadirkan Mas Roni Ramlan selaku penulis buku Kaca Benggala.

Acara ini diberi pengantar oleh Prof Ngainun Naim tak lain merupakan pembina di SPK TA. Singkat kisah acara yang berlangsung sekitar satu jam via live IG tersebut sangatlah menarik untuk diabadikan dalam sebuah catatan. Berikut beberapa hal menarik yang dapat saya catat dalam proses ngaji literasi tersebut. Kebetulan saya didaulat sebagai moderator dalam acara tersebut.

Pertama, dalam sambutannya Prof Ngainun Naim menyampaikan tiga hal yang sangat penting yaitu berkaitan dengan urgensi diskusi, media menulis dan tradisi rutinan. Menurut Prof Naim menghidupkan kembali tradisi ngaji literasi sangatlah bagus untuk merangsang lagi ghirah atau semangat dalam menulis yang sudah lama mengalami fluktuasi. Selanjutnya dalam kaitannya berliterasi kita memang harus rajin memperbincangkannya. Beliau mengutip Prof Azumardy Azra bahwa jika Pancasila ingin terus hidup di tengah masyarakat maka seringlah juga ia diperbincangkan.

Sama halnya dengan literasi jika ingin tumbuh subur setidaknya harus sering diarusutamakan. Kemudian adanya media untuk menumbuh kembangkan kegiatan berliterasi. Dalam hal ini menulis banyak orang yang ingin menjadi penulis tapi mereka tidak tahu caranya. Ada juga yang tahu bagaimana cara menulis tapi bingung eksekusinya. Maka dari itu media atau wadah komunitas sangatlah tepat sebagai ruang belajar dalam hal ini menulis. Media inilah harapannya dapat terus membumikan tradisi berliterasi sekaligus melahirkan budaya berliterasi.

Prof Naim juga berpesan bahwa tradisi ngaji literasi harus dipupuk sebagai sebuah rutinan bukan sekadar program. Karena inti dari ngaji itu adalah keistiqomahan maka dari itu nikmati saja prosesnya dan dapatkan barakahnya. Selanjutnya proses ngaji dimulai dengan pemaparan singkat Mas Roni terkait bukunya yaitu Kaca Benggala.

Mas Roni menjelaskan bahwa sebenarnya bukunya sudah disusun sekitar hampir dua tahun lalu. Akan tetapi karena beberapa hal teknis dari penerbit maka buku tersebut bisa lahir sekitar bulan Desember tahun 2022. Akan tetapi ia bersyukur buku Kaca Benggala jilid 1-2 bisa dicetak dengan baik walaupun harganya selangit. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Guepedia Bogor dan memiliki halaman sekitar 150an.

Mas Roni berkisah bahwa buku tersebut berisi renungan dan refleksi atas segala hal yang dialaminya. Proses kreatif dalam menulis tentunya ia lakukan mengalir saja. Karena ia yang berlatar belakang jurusan filsafat maka bisa ditebak bukunya bergenre filsafat sufistik atau lebih tepatnya menjadi buku manajemen diri, pengembangan diri. Seperti cover depan, Mas Roni menceritakan bahwa manusia itu memiliki potensi yang luar biasa. Maka dari itu seseorang bisa jadi apa saja yang dikehendakinya. Terutama soal menulis seseorang bisa memulainya sejak dari saat ini. Mas Roni telah membuktikan bahwa di tengah kesibukan atau bahkan dalam kesedihan sekalipun menulis bisa menjadi media alternatif untuk dipilih sebagai proses penyaluran energi positif.

Saya secara pribadi belum membaca utuh buku Mas Roni tersebut. Akan tetapi buku tersebut termasuk banyak informasi dan pengetahuan yang disuguhkan. Termasuk topik agama, budaya, teknologi, sosial hingga politik semua dikupas tuntas tentu dengan gaya khas penulisnya. Akhirnya ngaji literasi perdana tersebut harus kita akhiri karena waktu sudah menunjukkan pukul 07:05 wib. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa lagi. Salam Literasi

the woks institute l rumah peradaban 15/2/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde