Langsung ke konten utama

Resep Anak Berprestasi ala Ibu Nono




Oleh : Woko Utoro

Beberapa hari lalu kita mendengar berita seorang bocah dari Kupang NTT bernama Nono menggemparkan jagat. Ia menjadi pemberitaan utama di berbagai media karena prestasinya. Ya, Nono atau Caesar Archangels Hendrik Meo Tnunay adalah juara 1 kompetisi Sempoa Abacus Internasional. Usianya baru 7 tahun dan mampu mengalahkan 7000 peserta.

Tentu ketika pertama mendengar berita tersebut kita langsung tercengang, luar biasa. Lantas bagaimana orang tua Nono mendidik sehingga ia menjadi anak berprestasi. Berikut tips atau pesan inspiratif dari Nuryati Seran selaku ibu Nono.

Pertama, anak harus dikenalkan terlebih dahulu tentang isi kitab suci. Setelah mampu membaca kitab suci merupakan hal yang utama. Karena kitab suci adalah pondasi umat beragama. Jika dalam konteks Nono ia mempelajari Bibel dan konteks kita adalah Al Qur'an. Setelah kitab suci jangan lupa dekatkan mereka dengan Tuhan lewat bermacam doa. Dengan segala aktivitas ketuhanan tersebut harapan kita mereka akan selalu menjadi anak yang rendah hati.

Kata Ibu Nono mendidik anak dewasa ini tidaklah mudah lebih lagi di NTT iklimnya panas dan keras. Otomatis sebisa mungkin mendidik dengan hati agar apa yang disampaikan dapat juga menembus hati.

Kedua, tanamkan kepada anak untuk bersikap disiplin. Kedisiplinan memang harus ditanamkan sejak dini agar mereka tidak memunculkan sikap pragmatis alias hanya yang menguntungkan saja. Mereka harus diberi pemahaman akan arti perjuangan dan semangat belajar. Dengan kedisiplinan itu pula kita mengajarkan akan arti menghargai.

Ketiga, kepercayaan diri dan rendah hati satu paket yang harus juga disuntikkan pada mental anak. Dengan percaya diri anak akan menghadapi segala apapun dengan optimisme. Dengan rendah hati anak akan tetap konsisten sekalipun mereka berada di atas. Soal rendah hati ini Nono sudah diajarkan sejak kecil salah satunya ia menolak hadiah dari beberapa orang dengan alasan tidak ingin hidup glamor.

Ibu Nono menolak hadiah laptop dengan alasan laptop di rumah masih bisa dipakai. Ia juga menolak mobil mewah dengan alasan bocah sekecil itu belum waktunya memiliki kendaraan bermotor tersebut. Serta banyak lagi hal-hal yang penuh karakter dari keluarga Nono tersebut. Ayah yang seorang petani dan kuli serta ibu seorang guru menjadikan Nono sosok luar biasa. Kecil berprestasi dan tentunya memiliki cita-cita seperti Elon Musk yang ahli dalam teknologi. Selamat dan Nono berhasil menginspirasi.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/2/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde