Langsung ke konten utama

Mursyid Milenial




Woks

Sudah lama saya ingin bertemu beliau. Akhirnya pertemuan itu terjadi juga. Ya sejak satu hari lalu saya sengaja menghubungi beliau dengan kebutuhan mengantar teman izin penelitian. Kebetulan beliau mengiyakan dan akhirnya saya, Mba Fatim, Zul dan Fitria berkunjung ke ndalem beliau di Perum Permata Kota 2 Jepun.

Beliau adalah Gus Syauqi. Ahmad Sauqi bin KH. Arif Mustaqim lebih tepatnya nama dosen kami ketika mengajar di jurusan Tasawuf Psikoterapi. Ketika sampai di ndalem beliau kami disambut hangat dan langsung mengutarakan maksud dan tujuan datang ke sana. Akhirnya Mba Fatim sebagai yang memiliki hajat langsung bicara banyak hal dengan beliau. Tentu topik pembicaraan adalah seputar dunia thariqoh lebih khusus lagi Syadziliyah.

Gus Syauqi adalah dosen saya ketika di S-1. Maka tidak salah kami langsung akrab dan berbincang banyak hal. Beliau mewarisi kemursyidan dari ayahnya yaitu Kiai Arif Mustaqim. Sedangkan Kiai Arif sendiri merupakan putra Kiai Mustaqim bin Husein Pondok PETA. Mba Fatim juga memohon izin untuk melakukan penelitian di pesulukan yang ada di Tunjung, Kebonagung dan Mantenan. Lalu Gus Syauqi langsung mengiyakannya, "Silahkan, monggo, ndak papa, bagus itu".

Ya, Gus Syauqi hanya berkata singkat demikian, "Ya, ndak masalah". Kami langsung banyak diam dan hanya menunggu dawuh-dawuh beliau. Kata Gus Syauqi bahwa jamaah Pondok PETA yang dipimpin Kiai Hilal itu dibaiat oleh beliau. Maka sontak saja dari itu kami langsung terdiam seolah langsung menyadari siapa yang kita ajak bicara. Kita berpikir bahwa yang berhak membaiat seseorang itu tentu tidak sembarang orang. Bahkan beliau sendiri dawuh bahwa guru mursyid adalah seorang yang mampu mendiagnosa penyakit hati manusia.

Pembicaraan masih berlanjut dan Mba Fatim pun menjelaskan secara singkat bahwa objek penelitiannya adalah fenomena pansos (panjat sosial) atau social climber pada jamaah thariqoh Syadziliyah. Gus Syauqi hanya senyum tipis-tipis sambil berkata, "Hmzz ndak masalah". Menurut saya apa yang didawuhkan Gus Syauqi bukanlah bagian dari jawaban. Hal itu hanya sebuah ungkapan yang memerlukan ragam penafsiran.

Setelah itu justru beliau menjelaskan banyak hal. Pertama, Imam Abu Hasan Syadzili adalah sosok orang yang kaya raya akan tetapi hatinya tidak sedikitpun terpaut dengan kekayaannya. Kendati beliau suka dengan pakaian yang indah akan tetapi dalam proses mujahadah atau tawajuh thariqohnya tidak harus demikian. Jadi intinya hanya bersifat anjuran bahwa hal itu sesuai hadits nabi untuk memakai pakaian yang terbaik.

Kedua, bahwa thariqoh Syadziliyah berpandangan bahwa zuhud itu tidak menyeimbangkan dunia dan akhirat. Bagaimanapun juga dunia akhirat itu berbeda. Dunia itu fana sedangkan akhirat itu kekal. Jadi bagaimana mungkin sesuatu yang fana bisa ditimbang setara dengan yang kekal. Bagaimanapun juga dunia dan akhirat itu beda level atau sederhananya dunia itu hanya wasilah (perantara) dan akhirat itu ghayah (tujuan) utama. Akan tetapi bagi thariqoh Syadziliyah dunia juga bernilai untuk menghantarkan hamba pada akhirat. Di sinilah kita bisa belajar bahwa manusia akan terus mencari pegangan, tongkat, gondelan untuk keseimbangan.

Ketiga, maqom dan maqomat itu berbeda. Bahwa maqom itu tempat berpijak atau sebuah kedudukan, sedangkan maqomat adalah stasiun, tempat pemberhentian atau sebuah tingkatan dalam ajaran kesufian. Beliau juga menyetir Imam Ghazali bahwa maqomat itu ada 7 taubat, wara', zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridha. Sedangkan inti ajaran Syadziliyah adalah kemurnian niat dan rasa syukur.

Keempat, beliau menjelaskan taubat. Taubat itu menyiratkan bahwa seseorang harus mengetahui akan sesuatu yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut. Maka dari itu taubat kata Imam Ghazali membutuhkan ilmu, sikap dan tindakan. Nah, di sinilah kita bisa mengetahui bahwa banyak pengamal thariqoh akan tetapi tidak mengerti ilmunya. Titik inilah letak perbedaan pengamal thariqoh di desa dan kota khususnya dengan mereka kalangan intelektual.

Demikianlah kisah singkat pertemuan kami dengan Gus Syauqi. Seorang mursyid yang santuy, pakaian sederhana dan pastinya murah senyum. Semoga bermanfaat. Terakhir kami pamit dan memohon doa dari beliau dengan harapan semoga segala hal yang kita jalani dapat diberkahi terus oleh Allah SWT.[]

the woks institute l rumah peradaban 14/2/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde