Langsung ke konten utama

Aconk


Woks

Baru saja Aconk menghirup udara bebas setelah 15 tahun terkurung di balik jeruji besi. Sudah berapa kali puasa dan lebaran ia lewati tanpa pernah bersama keluarga. Maklum saja Aconk termasuk penjahat kakap yang rekam kriminalnya tergolong berat. Selama 15 tahun itulah ia tidak pernah merasakan remisi masa tahanan karena kebaikan hari lebaran atau keputusan kepala lapas dari instruktur Presiden. Aconk memang tidak bernasib baik sebab orang-orang mungkin telah muak dengan segala perbuatanya. Bahkan keluarganya tidak ada yang sudi menemuinya. Bertemu saja tak sudi apalagi mengakui, mungkin saja ia telah terblacklist dari daftar keluarganya. Tapi hari ini ia bebas juga menikmati udara dengan segar serta mendengar burung kicau riang gembira.

Di depan rumah ia duduk menikmati secangkir kopi pahit dengan gula yang telah menguning. Ditambah suasana serambi yang tua membuat suasana nampak berbeda.Tapi semua itu tidak lebih buruk jika dibandingkan di penjara dulu. Semua orang dengan latar belakang kriminal masuk dalam satu sel penuh sesak. Satu sama lain tentu adu siapa yang kuat dialah yang menjadi bossnya sedangkan yang lain hanya bawahan. Tentu Aconk menjadi salah satu atasan itu. Kini Aconk hanya sendiri ditemani sunyi dan sepi. Apa gunanya bebas jika semua kebahagiaan pergi, gumamnya dalam hati. Ia juga bukan tipe orang yang bisa segalanya bahkan rumah yang kotor ini tak mungkin ia bersihkan sendiri.

Dulu saat anak dan istrinya masih ada tentu ia sangat bahagia bisa bercengkrama dengan mereka sambil menikmati singkong goreng kesukaanya di beranda yang selalu bersih oleh istrinya. Sebenarnya ia kecewa mengapa istrinya tega pergi begitu saja tanpa ada kabar. Kemana tujuannya dan apa maunya, semua tak ada kejelasan. Tapi seharusnya ialah yang lebih kecewa mengapa semua ini terjadi padanya. Siapa pula yang ingin menjadi penjahat kakap seperti dirinya. Pernah menjambret, mencuri, miras, memperkosa orang bahkan darah pembunuhan sudah berapa liter mengalir. Aconk memang begitu bodoh saat-saat ia mengingat masa kelam itu. Masa di mana semua dunia terasa kiamat. Tapi anehnya ia sendiri tidak merasa segala perbuatannya itu melanggar hukum. Di akhir-akhir masa tahanan ia sering berpikir apakah aku ini seorang psikopat. Tentu Aconk tidak tau banyak hal soal itu. Ia hanya seperti terbiasa melakukan hal itu tanpa pernah menyesali perbuatanya.

Saat ini dunia telah baru Aconk pun menyambut dengan penuh tanya, bagaimana selanjutnya? apa pula yang harus dikerjakan. Merampok lagi. Ah rasanya pembodohan. Ia tidak ingin masuk ke tempat sialan itu lagi. Sudah cukup sekali ini saja. 15 tahun waktu yang sangat kenyang untuk meruntuhkan kehidupannya. Anak dan istri pergi, rumah tak terurus, hidup sebatangkara dan pastinya pengangguran. Aconk juga berpikir mungkin jasad bapak ibunya tidak tenang di dalam kubur sebab mereka memiliki anak badjingan sepertinya. Anak yang terlahir tidak tau diuntung. Akan tetapi semua penyesalan tinggalan penyesalan saat ini yang ia butuhkan adalah bagaimana bisa kerja memasok kebutuhan energi perutnya dan agar dapur tetap mengepul.

Tiba-tiba akal bulusnya mulai terbang dalam pikirannya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mencari uang dengan cepat. Di mana-mana mungkin sama bahwa mental preman selalu mendominasi orang yang sedang terhimpit. Kejahatan tidak akan terjadi jika semua kebutuhan hidup terpenuhi, kecuali korupsi yaitu sebuah kejahatan yang lebih parah dari membunuh. Dulu saat di lapas Aconk mendengar pesan dari seniornya yang biasa ia panggil Bang Jarwo bahwa kebodohan yang paling bodoh adalah saat menyakiti orang lain yang sedang kesusahan. Maka dari itu sasaran operasi saat sebelum mereka tertangkap adalah para konglomerat. Lebih tepatnya orang-orang kaya yang pedit dan tak pernah berzakat. Dalam bayanganya Aconk mengkhayal apakah para preman itu masih memiliki hati nurani sehingga untuk menentukan target saja harus selektif. Tapi buat apa juga menjarah orang miskin, harta juga tak punya.

Di sudut kota jalanan begitu padat. Kendaraan silih berganti mondar-mandir dari setiap arah. Aconk melihat banyak potensi di sekitar pasar untuk ia kerjakan entah sebagai kuli panggul, tukang parkir, tukang kebersihan atau pemungut pajak. Yang terakhir ini amit-amit saja semoga tidak terjadi. Di sana Aconk bertemu dengan sahabat lamanya Emon orang yang dulu mengenalkan ia dengan istrinya. Dan kini Emon apakah masih mengenalinya atau tidak. Ia khawatir saat mengutarakan maksud dan tujuanya malah justru membuat gaduh seisi pasar. Aconk hanya punya tekad bahwa rekam jejaknya dulu jangan sampai terbongkar. Satu senti saja orang lain tahu bahwa ia mantan narapidana maka mampuslah ia. Muka pasti tak karuan malunya, sedangkan nama baik memang sejak lama tercoreng. Mungkin yang paling terasa adalah almarhum ibu dan bapaknya.

Emon menyadari bahwa sahabatnya itu akan berubah. Ia juga selalu bercerita bahwa menjadi jahat itu tidak enak. Selain ingin mencari pekerjaan Aconk juga berkeinginan untuk tobat mengakhiri segala keburukan dalam ucapan dan kelakuan.

"Jika ingin tobat bukan di sini bro. Di sini kamu malah kumat lagi premanmu", kata Emon.

"Ah kita coba dulu saja mon, semoga saja Tuhan sedang baik padaku", kata Aconk penuh percaya diri.

Sejak saat itu Aconk kembali aktif di pasar. Ia bekerja serabutan apa adanya kadang menjadi tukang sapu, parkir hingga kuli panggul alias bongkar muat barang. Aconk lakukan itu semua hanya untuk menghidupi dirinya sendiri. Mungkin jika istri dan anaknya kembali tentu ia lebih semangat lagi karena mereka adalah motivasinya. Kerja akan lebih digenjot lagi mumpung sisa-sisa tenaganya masih sanggup untuk mematahkan leher para pencuri ayam. Aconk memang masih muda untuk tidak menyebutnya tua sebab otot-otot nya masih lincah mengangkut barang dari penjual ke mobil pembeli. Sesekali uang hasil jerih payahnya itu ia tabung dan beberapa ia sedekahkan kepada faqir miskin. Walaupun orang pendosa seperti dirinya ternyata saat kecil dulu pernah ngaji di mushola dekat rumahnya. Kata Aconk ustadz nya dulu sering memberi pesan bahwa memberi sedekah kepada orang lain satu buah kurma maka akan dibalas dengan tujuh macam kebaikan. Anak-anak pada saat itu hanya mengangguk saja tanda paham padahal akhirnya tidak paham juga.

Saat-saat bekerja sebenarnya Aconk mulai mengendus bahwa beberapa pedagang mulai mengenalinya. Terutama ibu-ibu mereka tak jarang bergosip melihat kinerjanya selama ini.

"Itu si Aconk yang badanya penuh tato, awas lhoo hati-hati nanti kecurian uangnya".

Saat mendengar desas-desus itu sebenarnya telinga Aconk mulai panas. Rasanya emosi membara lagi seolah-olah ia sedang berhadapan dengan target yang dulu ia bunuh dengan golok. Tapi ia harus mencoba mengekang hawa nafsunya. Sebab yang ia hadapi adalah ibu-ibu.

"Sabar conk, kamu pasti kuat. Di mana-mana ibu-ibu semua sama. Sama-sama suka gosip", ujarnya dalam hati.

Sebenarnya beberapa kali saat ia bekerja terutama berposisi sebagai juru parkir Aconk sempat bentrok dengan tukang parkir yang lain. Dengan segala alasan yang tak jelas sering sekali ia dapati karena masalah lahanlah, jatah, pelanggan hingga zona parkir. Jika bukan perkara pekerjaan sudah tak ambil pusing mungkin Aconk tak akan segan adu jotos dengan tukang parkir yang lain. Aconk mengerti bahwa dunia memang keras termasuk mengapa dulu ia memilih jalan hidup sebagai begundal yang hidup dari hasil jerih payah orang. Merampas kebahagiaan orang bahkan tak segan membuat mereka miskin mendadak. Sedangkan keberhasilan usaha itu hanya memperkaya dirinya sesaat. Mungkin inilah balasan yang harus ia terima atas segala parasaan yang tumpul itu. Apakah ada maling, perampok atau semacamnya yang rela tunduk dengan aparat atau warga. Pasti tidak ada selain melawan mengamankan diri bahkan tak segan membunuh korbanya. Beberapa kali Aconk akhirnya tak bisa menahan kesabaranya hingga ia pun terlibat baku hantam dengan pekerja parkir yang lain.

"Gua gak terima, awas loe gua masih ada perhitungan sama elu"

Ancaman-ancaman kerupuk bernada kaleng masih juga Aconk temui. Tapi ia santai saja predikat preman dengan label kelas kakap yang pernah di penjara 15 tahun masih melekat pada dirinya. Walau kini sudah tobat tapi ia tidak bisa merubah total sikapnya. Orang kotor seperti dirinya perlu proses panjang dalam perubahan itu. Berbeda jika ada sepercik hidayah datang turun bagai salju lembut mengguyur ke sanubari dan mungkin itulah jalan Tuhan yang harus ia susuri.

Saat melepas lelah di beranda rumah kadang Aconk merasa rindu sudah sebesar apa anak lelakinya atau apakah istrinya sudah menikah lagi. Hal-hal semacam itulah yang juga sering ia dapatkan saat di penjara dulu. Jika ditanya kepada tahanan yang lain apa yang dipikirkan selain dosa? rerata mereka menjawab keluarga. Cuma lagi-lagi karena kebodohan, hawa nafsu, kebutuhan perut dan jabatan seseorang bisa kalap mengorbankan kebahagiaan yang jelas-jelas tampak di depan matanya. Menjadi manusia berhati preman memang menyengsarakan semua hal dalam pandangannya adalah kesenangan sedangan semua itu hanya sesaat. Setelah Aconk bebas dari penjara hingga saat ini ia hanya hidup sendiri. Menikmati seisi rumah dengan perabot seadanya. Tidak ada yang bisa diajak bicara dan memang itu sudah berlangsung lama. Mungkin saja orang-orang dan tetangganya takut serta belum mampu menerimanya sebagai orang yang normal. Hitam sebagai lambang keburukan memang akan selalu nampak sekalipun putih lebih mendominasi. Suratan takdir ini akan ia lewati bersama proses ranumnya usia.

Keadaan pasar saat ini begitu ramai. Aconk begitu antusias dalam bekerja. Maklum saat ini parkir selalu dipenuhi sesak oleh pembeli dan jasa bongkar muat juga ramai lancar bahkan tak sedikit pedagang kecil juga ikut kena berkahnya. 

"laris manis tanjung kimpul dagangan laris duit ngumpul", begitu salah satu pedagang yang meneriakan sajak di antara barang dagangannya.

Tidak seperti biasanya memang suasana begitu terik. Panasnya begitu menusuk. Mungking segelas es dawet mampu melunturkan dahaganya. Sambil melepas lelah hampir setengah hari bekerja Aconk menikmati segelas es dawet. Ia bercengkrama dengan penjualnya sampil bertukar cerita kehidupan. Tapi Aconk tidak bercerita semua terkait masa lalu. Ia bercerita tidak banyak sebab jika beberapa orang tau bahwa dia mantan napi nanti orang-orang bisa ketakutan. Paling Aconk hanya bercerita bagaimana suasana terjalin akrab dengan berbagi tawa. Saat satu sama lain asyik dalam suasana santai tiba-tiba sekelompok orang datang dari balik kerumunan para pembeli. Rupanya Aconk sudah tau bahwa hal ini akan terjadi juga. Sejak lama ia sudah mencium bau tak sedap di pasar ini. Maklum saja di mana tempatnya barisan sakit hati itu selalu ada. Mereka para orang-orang yang tak suka selalu tak tinggal diam dengan kebahagiaan orang lain. Padahal dunia menyuguhkan semangkuk kompetisi agar kita mampu melewatinya.

"Mana Aconk, gue mau perhitungan sama dia?"

Mendengar suara gertak lantang itu Aconk sudah siap siaga. Ia meminta agar pedagang kecil termasuk penjual es tersebut untuk segera pergi sebelum dagangannya ringsek.

"Ohh rupanya elu, punya nyali juga ternyata"

Sebenarnya masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan. Cuma karena salah paham di bagian parkir masalah bisa meruncing seperti ini. Aconk sebenarnya tidak ingin ada kelahi di pasar ia khawatir jika nanti harus berhubungan lagi dengan pihak berwajib. Ia sudah lama untuk menahan diri agar tidak ada keonaran lebih lagi ia sendiri telah tobat dan menyembunyikan identitas aslinya. Akan tetapi situasi semakin memanas apa boleh buat selain ia harus melawanya. Orang-orang yang marah memang tidak bisa dijelaskan dengan cara apapun. Karena otak sedang mendidih dan emosi selalu meluap-luap.

"Ahh banyak bacot lu, Conk"

Tanpa lama pukulan dari benda tumpul langsung menghujam ke perut Aconk. Aconk pun tersungkur. Ia mencoba bangkit mengumpulkan setiap tenaga dalam kepalan tangan. Aconk membalas pukulannya ternyata masih ampuh untuk membuat lawanya berdarah, pelipis, bibir wajah dan gigi terlihat darah mengucur. Mereka bukanya menyerah malah justru semakin beringas.

"Beraninya keroyokan, gak jentel lu cemen"

Kejadian seperti ini sudah biasa Aconk lewati akan tetapi jumlah mereka semakin banyak sedangkan ia seorang diri tanpa alat apapun. Dari pada semakin merugikan pedagang Aconk pun kabur. Ia mencari tempat yang lebih luas untuk meneruskan kelahinya. Seorang pendosa sepertinya sudah kepalang basah sekalian saja mandi di atas lumpur darah. Mereka pun mengejar Aconk. Mereka lalu menghadang Aconk seperti pagar besi yang mengelilingi agar Aconk tak lari. Satu persatu menghujani Aconk dengan umpatan dan makian. Kelas hewan-hewan sudah biasa keluar dari mulut orang yang marah. Beberapa kali Aconk terkena sabetan kayu dan besi tapi ia terus menghindar. Pukulan demi pukulan ia tangkis, tapi nahas ia tak tau jika di belakang di antara mereka memukulkan sebuah botol kaca.

"Praaak, sialan darah...", Aconk pun ambruk. Tergeletak tak sadarkan diri. Sedangkan mereka pergi meninggalkan Aconk yang di kira telah mati. Wajahnya babak belur, perutnya begitu mual dan rasa sakit karena dihantam bertubi-tubi ia tahan. Orang kuat sepertinya kini harus ambruk dalam kekalahan. Mereka sepertinya telah puas membalaskan dendamnya. Setidaknya Aconk sudah diberi pelajaran untuk tidak berkuasa di areal pasar.

Selama masa tak sadarkan diri itu Aconk di rawat di rumah Emon sahabatnya itu. Sekian lama beberapa minggu dari kejadian itu Aconk ingin segera beraktivitas. Ia ingin mencari pekerjaan lain agar dapat menebus kebaikan Emon karena mau merawatnya hingga lumayan pulih. Tapi sungguh sayang waktu tidak bisa ditebak. Seketika itu dunia membisu di mana-mana tersiar kabar bahwa sebuah virus sedang mengobrak-abrik tatanan dunia. Karena penularan virus itu begitu cepat akhirnya pemerintah mengintruksikan untuk meliburkan kegiatan yang bersifat masal termasuk semua pabrik dilarang beroperasi. Pasar pun terkena imbasnya, semua pertokoan tutup dan hanya beberapa pedagang kecil yang masih beroperasi.

"Mampus, aku akan menganggur selamanya"

Kebutuhan sehari-hari semakin meningkat. Hutang semakin banyak sedangkan ia masih harus menebus obat karena sakitnya belum begitu pulih total. Jika semua hal ini berlangsung lama tanpa pernah tau kapan akhirnya Aconk memilih bunuh diri saja. Tapi lagi-lagi ia tersadarkan dengan kehidupan yang singkat ini. Tapi mau bagaimana lagi ia juga tak ingin terus-menerus larut dalam keterpurukan. Aconk pun berkelana mencari pundi-pundi rupiah dari balik sudut kota yang kering dan kejam itu. Sebenarnya larangan untuk beraktivitas telah beredar karena betapa bahayanya penularan virus ini. Karena bentuknya yang tak terlihat bisa sangat mungkin orang besar, kekar dan kuat sekalipun bisa sangat mudah tumbang oleh virus ini. Awalnya hanya karena bersin tipis, lalu batuk kering hingga dada terasa sesak dan akhirnya pernapasan terganggu dan saat itulah virus tersebut menguasai tubuh bahkan menyebabkan kematian.

Semua himbauan itu tak mempan buat Aconk. Baginya hidup itu harus realistis. Bukan sekedar angan-angan kosong tanpa usaha. Hidup juga harus rasional sebab walau bagaimana pun kita akan melawan takdir dan kematian. Benar saja selang beberapa waktu Aconk mengalami gejala yang menurutnya sebuah batuk biasa. Ia juga tidak mau dipriksakan ke dokter karena anggapan biaya yang mahal. Bahkan ia rela mati saat ini. Semua telah dipasrahkan kepada sang kuasa. Hidupnya hanya sebatangkara lalu mau apa lagi yang ia harapkan. Anak dan istri telah pergi apa lagi yang akan diperjuangkan. Aconk pun dinyatakan sebagai orang dalam pengawasan hingga akhirnya dokter menyatakan bahwa dirinya positif terkena virus itu. 

Aconk mungkin sudah menduga bahwa virus itu akan meringsak tubuh gempalnya. Virus kecil yang tidak boleh disepelekan. Kadang memang pelajaran tidak datang dari hal-hal besar justru ia bisa saja datang dari hal kecil seperti virus ini. Selamanya ia akan jadi guru kehidupan sekalipun berakhir dengan kekecewaan. Aconk ingin semua ini adalah jalan pembersihan jiwanya dari segala debu dan kekotoran. Dosa yang entah sudah berapa banyak bahkan telah menggunung. Dan kini ia sadar kekuatan dan kedigdayaan tak menjadikan apa-apa. Tato yang terpatri di sekujur tubuhnya tidak bisa melakukan apa-apa pula. Jika pun ia harus mati karena virus ini semoga saja kematianya dalam keadaan sudah terkelupas segala kulit kejahiliyahanya. Ia akan bersua malaikat maut dan memintakan segelas anggur untuk ia minum sebelum malaikat benar-benar menyiksanya.

the woks institute l 7/11/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde