Langsung ke konten utama

Forling dan Sarasehan Jurusan Tasawuf Psikoterapi


Woks

Malam itu akan saya kenang sebagai momen menarik dan tak terlupakan, mungkin begitu pula yang dirasakan Mas Heru kawan saya. Walaupun acara forling tersebut berada di perbukitan dengan medan lumayan curam tapi kita mencoba berusaha untuk tetap hadir ke sana, kata kawan saya itu "rindu adalah alasan terbaik kita ke sana".

Ya, sudah hampir 3 tahun lebih kita tidak merasakan atmosfir diskusi dalam acara forling tersebut sejak aktif sebagai mahasiswa dulu. Mungkin ini adalah forling ke sekian yang kami ikuti sekaligus pertama dengan status alumni. Acara forling ini memang menyejarah bahkan selalu ingin dirawat hingga kini. Terbukti ditempatkan yang lumayan jauh acara ini terlaksana sebagai pembuka dan penutup di kepengurusan HMJ era Mas Fahmi.

Acara forling atau forum keliling tersebut selalu membawa decak kagum. Betapa tidak bagaimana tuan rumah berjibaku menyiapkan tempat, jamuan dan sarana lainya agar acara tersebut berjalan lancar. Tidak hanya itu kepul asap kopi selalu setia menemani saat diskusi maupun sarasehan. Walaupun istilah sarasehan sudah include dengan diskusi tersebut.

Hal menarik dari forling selain dapat bersilaturahmi dengan si empunya rumah kita juga bisa saling mengenal satu sama lainya termasuk berbagi cerita, berbagi ilmu dan pengalaman. Walaupun dari alumni tidak semua bisa hadir yang jelas beberapa perwakilan sudah mampu mewakili angkatanya. Acara forling ini bisa disebut juga sebagai reuni kecil.

Acara forling berarti membuka kembali kenangan yang telah lalu barangkali masih ada yang tertinggal. Entah apa bentuknya yang jelas di malam itu kita membahas banyak hal mulai dari mengapa jurusan ini ada, apa pentingnya masuk jurusan ini, mau jadi apa dari jurusan ini hingga prospek karir setelah lulus nanti. Kita juga membahas tentang sejarah logo TP, tagline, program, audiensi jurusan, gelar hingga warna magis pada jaket. Tidak hanya itu kita juga membincang sejarah kaderisasi, Tasawuf Psikoterapi Training (TPT), pergerakan HMJ, kunjungan ke berbagai instansi dan rumah sakit jiwa (RSJ), hingga epistemologi jurusan melalui konsorsium dan organisasi yang menaunginya.

Mbah Hudaisme yang Tak Pernah Terlewat

Dalam setiap acara yang dihelat jurusan TP atau umumnya FUAD nama Mbah Huda memang tak pernah terlewatkan. Ia ibarat artis yang telah dikenal seantero jagat baik dunia maupun akhirat. Namanya melambung sejak orang banyak mengenalnya termasuk Rektor IAIN Tulungagung Prof Dr Maftukhin. Jangankan Rektor mungkin Sang Hyang Betara Ismaya pun mengenal Mbah Huda. Walau kecil badanya tapi pemikiranya besar begitulah Mbah Huda.

Mbah Huda memang menjadi iconik sepanjang massa bahkan hingga hari ini posisinya sebagai icon TP dan FUAD belum ada yang mampu menggeser. Mbah Huda masih kokoh dipuncak sebagai tokoh pencarian sejati. Maka dalam bahasa anekdot "Mbah yang KW banyak, tapi yang asli hanya satu, maka jangan coba-coba". 

Mbah Huda memang unik sehingga ia mudah dikenal. Selain style pakaiannya yang nyentrik orang dan tutur katanya pun nyentrik. Belum lagi keilmuan mistiknya yang selalu melekat membuat siapa saja menaruh perhatian padanya. Tidak hanya itu quote ala sufi selalu muncul dari balik bibirnya yang manis termasuk joke-joke dewasa yang tak boleh dilupa. Salah satu contohnya yang sering dikutip adalah joke dari KH Anwar Zahid "perempuan itu cobaanya saat lelaki tak punya apa-apa tapi lelaki cobaanya saat perempuan tak pakai apa-apa".

Tapi yang menarik dari Mbah Huda dan ini yang belum bisa ditiru orang lain adalah tentang ajaran "be your self" nya. Selama ini Mbah Huda memang terkenal dengan kepercayaan dirinya yang kuat. Ia mampu berdiri dengan kokoh walaupun banyak cemoohan dari orang lain. Baginya menghargai diri sendiri adalah anugerah dan sesuatu yang harus disyukuri. Katanya tetaplah melangkah walau seribu anak panah menghujam tubuhnya. Mbah Huda memang akan terus menjadi dirinya, diri yang tidak terdoktrin apapun. Ia akan terus nguri-nguri budaya Jawa, menghormati leluhur dan unggah-ungguh serta akan terus menjadi pecinta wanita.

Membicarakan Mbah Huda memang tak ada habisnya. Mari kita akhiri tulisan ini bahwa dengan forling kita bisa mendapat banyak pengetahuan dari para pendahulu. Kita harus tetap optimis lewat jurusan TP ini karena kita bisa jadi apapun. Maka dari itu kunci agar kita tetap menaruh hati dijurusan ini adalah dengan merasa memilikinya. Dengan seperti itu kita akan berjuang di dalamnya belajar, berproses serta menemukan apa yang kita cari. Jika tidak ketemu mungkin itu hanya cara agar kita lebih giat lagi. Sebagaimana Cak Nun dawuh bahwa Tuhan tidak ingin kita sukses tapi Dia hanya ingin kita bekerja tanpa kenal lelah. Siapa kita? #KTP

the woks institute 28/11/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde