Langsung ke konten utama

Berguru Kepada Alam

 

Woks

Sejak penggunaan gadget begitu masif kini orang tua semakin resah. Anak-anak semakin akrab dengan gadget, medsos dan internet. Entah apa yang mereka akses yang jelas untuk anak usia dini sudah mampu bermain game dan berselancar di dunia maya. Beberapa orang tua menyayangkan hal itu karena dampaknya sangat besar bagi perkembangan anak. Mereka menjadi tidak peka sosial salah satunya sangat sulit diberi arahan, masukan, perintah oleh orang tua. Mereka lama kelamaan menjadi malas, tidak aktif dan banyak menghabiskan waktu di depan monitor hp bahkan yang miris adalah suka membangkang.

Anak yang kecanduan gadget memang begitu menguras energi orang tua agar bagaimana menemukan formula supaya mereka tersadar akan kehidupan sosial yang lebih utama. Jika ditinjau lebih jauh anak-anak mungkin secara fisik berada di rumah tapi secara kognitif mereka sedang terjajah. Walaupun kita sadari bahwa game tidak selamanya negatif. Akan tetapi faktanya anak menjadi sulit di atur dan lebih suka ngeyel sebagai cara defence mecanism.

Sebenarnya tidak hanya anak, orang dewasa pun memiliki problem yang sama terutama soal gadget dan internet. Bisa dibayangkan menurut data Kominfo (2020) pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta dengan 95% dari jumlah pengguna jejaring sosial. Hal ini menjadi indikator bahwa masyarakat kita tidak bisa lepas dari gadget dan media sosial. Dunia yang menyebut gawai itu memang telah menggurita ke semua lapisan dan tidak bisa dihindarkan. Lalu lebih jauh bagaimana upaya agar anak minimal mengurangi ketergantungannya dengan gadget? mungkin alam adalah jawabanya.

Saya punya kisah bagaimana pola asuh dan pendidikan yang diterapkan guru saya terhadap anaknya. Beliau terutama saat weekend selalu menjadwal waktu bersama buah hati untuk berkunjung ke alam. Beliau mengajak mereka berkebun di sekitar pekarangan rumah dengan menanam tomat, cabai, dan umbi-umbian. Termasuk juga belajar beternak ayam dan merawat beberapa ekor kucing. Selain itu beliau juga sempatkan berpetualang bersama sang buah hati ke daerah pegunungan dekat rumah. Di sana mereka melihat hamparan sawah menghijau, air sungai begitu derasnya dan tentunya lalu lalang petani beraktivitas. 

Menurut beliau dengan berdekatan bersama alam anak-anak akan senang melihat dunianya secara jelas. Mereka bisa membaca gejala alam, melihat warna-warni tanaman, menghitung benda-benda yang mereka jumpai. Dengan begitu anak akan belajar menggunakan semua alat indranya. Anak dan alam menjadi satu kesatuan yang akan membawa efek bahagia. Mereka bisa belajar tentang apa yang ditemui di kelas, buku, gadget secara nyata dari alam. Alam adalah guru yang menyediakan banyak hal buat mereka. Warna-warni yang alami bukan dari gambar tapi kehidupan nyata.

Cara anak diperkenalkan dengan alam sekitarnya akan membawa dampak yang besar di antaranya penghilang stres, melatih berpikir, aktif, rangsangan alamiah, tanggungjawab, membangun kreativitas imajinasi dan menumbuhkan rasa percaya diri. Walaupun tidak semua anak suka dengan dunia luar setidaknya cara itu adalah bagian dari bentuk pengalihan dari dunia maya ke dunia nyata. Mereka bisa belajar biologi, matematika, sosial, melalui media alam sekitarnya secara bebas. Dengan demikian alam menjadi sahabat yang tak tersekat ruang kelas dan waktu. Alam menyuguhkan banyak hal untuk perkembangan afektif, kognitif, psikomotorik mereka dalam mencerna berbagai informasi.

Tantangan saat ini sebenarnya bukan hanya soal gadget tapi soal mau atau tidaknya orang tua menyempatkan waktu untuk si buah hati. Karena di usia emas anak sangat perlu pendampingan orang tua. Peran orang tua sangatlah vital dalam rangka membentuk karakter dan sikapnya. Orang tua menjadi tonggak keberhasilan masa perkembangan anak. Mau jadi apa anak sebenarnya langkah orang tua dalam hal pendidikan dan apa yang ditanamkan terhadapnya harus diperhatikan lebih dalam.

the woks institute 
Selamat Hari Guru 25/11/2020




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde