Langsung ke konten utama

Mengapa Kiai Harus Punya Hewan Peliharaan?

(Foto: Ndalem KH Abdul Kholiq, Pengasuh PP Mbah Dul Plosokandang-Tulungagung)

Woks

Beberapa waktu lalu saya diberi amanah oleh panitia acara Majelis Dzikir dan Maulidurrasul untuk menyampaikan sepucuk surat kepada beberapa kiai pengasuh pondok pesantren. Intinya panitia berniat mengundang para kiai tersebut untuk hadir dalam acaranya. Tanpa pikir panjang di waktu pagi yang sejuk saya bergegas menuju ke salah satu pondok pesantren yang dituju. Sesampainya di sana saya disambut hangat oleh seorang santri yang kebetulan sedang menunggu pak kiai dalam sebuah pengajian kitab. Lalu saya pun diantar menuju ndalem rumah kiai tersebut.

Pikir saya menunggu beliau pasti sebentar, soalnya beberapa menit saja beliau pasti akan menemui para santri untuk mengaji. Ternyata dugaan saya itu salah, saya malah justru menunggu hampir satu jam lebih. Dalam kondisi menunggu yang cukup lama itu kadang saya berpikir apakah ini yang disebut ajaran kesabaran, dan husnudzon atau seperti umumnya kiai ada yang sulit untuk ditemui.

Dalam kondisi menunggu itu saya berpikir tentang hewan peliharaan kiai yang berlalu lalang di depan teras rumah. Bahkan banyak kotoran yang berserakan di sana. Hewan-hewan tersebut terdiri dari beberapa unggas seperti itik, menthok, ayam jago, kalkun, hingga burung merpati, tekukur dan beo. Saya pun mulai jenuh menunggu dan memang sejak awal saya tidak punya keberanian untuk mengetuk pintu sekadar mengucap salam. Untung saja salah satu khadim pak kiai menemui saya, katanya jika hanya ingin mengantar surat cukup ke bu nyai saja dengan memohon izin dan salam. Jika niatnya sekaligus bertemu kiai pasti akan butuh waktu lama. Biasanya sebelum atau sesudah mengaji pak kiai selalu punya amalan khusus yang beliau Istiqomahkan. Akhirnya saya pun memberikan surat itu melalui bu nyai.

Dalam pikiran saya yang perlu diurai ialah tentang hewan peliharaan pak kiai. Lantas saya bertanya apakah kiai seharusnya punya hewan peliharaan? Tentu jawabanya beragam, tapi mayoritas memilikinya. Lalu saya mencari referensi atau rekam jejak ternyata banyak ulama dan kiai yang memiliki hewan peliharaan. Bahkan Rasulullah SAW sendiri punya hewan peliharaan berupa unta, kambing dan kucing. Dalam sejarah Rasulullah saking tidak ingin mengganggu kucingnya tidur pada sebuah jubah beliau rela memotong jubahnya itu.

Saya juga mengingat film besutan sutradara Anto Galon yang berjudul "Gus Muslih". Film tersebut merupakan tribute dalam rangka milad Gus Mus ke-74. Film yang salah satu scane nya adalah sikap welas asihnya Gus Mus kepada semua mahluk termasuk hewan. Di sana diceritakan sosok Gus Muslih bersama seekor anjing. Para kiai seperti KH Mas Mansyur, Gus Maksum, KH Imam Yahya Mahrus juga tercatat sebagai ulama yang punya hewan peliharaan mulai dari anjing, kucing, kuda, kambing, ikan hingga hewan buas. Bahkan ada cerita tentang kiai Metal yang punya hewan peliharaan babi. Yang terbaru ialah penampakan kucing milik Gus Sholah yang terbaring (seperti merasa kehilangan) di samping makam adik Gus Dur itu. Sejak mengasuh Tebu Ireng 2006 lalu Gus Sholah memang senang memelihari kucing, baik tipe peranakan Jawa atau Anggora.

Menurut saya para kiai tersebut pasti punya alasan mengapa memelihara hewan ternak. Salah satunya karena jalan dakwah. Di sana terdapat pelajaran berharga yang bahkan kita sendiri tidak mengetahuinya. Para kiai memang punya segudang cara bagaimana hewan peliharaan menjadi metode agar santri dan tamunya paham dengan semua itu. 

Ada cerita bahwa seorang kiai pernah dianggap kontroversi karena memelihara beberapa ekor babi. Saat diklarifikasi ternyata jawaban kiai tersebut sangat diplomatis. Menurut kiai tersebut dulu si empunya babi adalah orang Cina. Babi tersebut sering ke mana-mana ikut bersama majikanya bahkan ia juga banyak bersentuhan dengan barang-barang yang ada di pasar. Akhirnya sang kiai tersebut berinisiatif untuk membeli babi tersebut dengan harga mahal. Singkat cerita babi tersebut telah dibeli dan langsung masuk ke dalam kandang. Darisanalah kiai punya cara agar bagaimana menghentikan najis dari babi tersebut dengan cara membelinya.

Salah satu fungsi memiliki hewan peliharaan yaitu secara emotional quetion (EQ) dapat melatih kesadaran empati. Di sana kiai sedang mencontohkan kepada santrinya untuk lebih peka sosial. Hal itu kita dapatkan dari interaksi dengan banyak orang termasuk hewan. Bagaimana kita mengamati saat hewan tersebut bertingkah polah, apakah ia sedang lapar atau terkena gangguan. Tentu bisa kita amati melalui tingkah laku tersebut.

Menurut Psikiater Inggris, John Bowlby (1989) kedekatan, kehangatan, dan keterlibatan sosial yang terkandung dalam suatu bentuk hubungan akan membentuk suatu pola sistematik yang disebut dengan orientasi kelekatan (attachment). Orientasi kelekatan (attachment) yang terbentuk dari hubungan emosional antara pemilik hewan peliharaan dengan hewan peliharaannya disebut dengan istilah Pet Attachment (kelekatan pada hewan peliharaan). Manfaat lainya dari memelihara hewan ialah membawa nilai tanggungjawab. Biasanya seorang kiai menugaskan santrinya (khodim) untuk merawat hewan-hewannya itu. Selain bisa bernilai ekonomis hewan tersebut juga sebagai tanggungjawab santri agar bisa dirawat dengan baik. Santri harus jeli kapan waktu memberi pakan dan perawatan lainya. Termasuk juga manfaatnya yaitu menumbuhkan nilai kasih sayang.

Bahkan dalam sebuah anekdot hewan peliharaan kiai tersebut sebagai cara agar santri mbeling bisa dihukum dengan membersihkan kotoran-kotorannya. Hewan itu juga sebagai metode ampuh menjadi hidangan santri saat dipanggil kiainya ke ndalem. Karena sudah dikasih makan kiai pasti secara psikologis si santri tersebut merasa sungkan ketika berbuat hal yang melanggar. Cinta tersalurkan lewat makanan.

the woks institute l 15/11/20


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde