Langsung ke konten utama

Fund-writing Mungkinkah


Woks

Purwaka

Alhamdulillah pada 2 November 2020 tepat pukul 19:30 wib saya berkesempatan berbincang dalam tajuk "Jagongan Literasi" ke 2 bersama sahabat pena kita (SPK) cabang Tulungagung. Kali ini acara jagongan tersebut menghadirkan Dr Muhsin Kalida, MA serta pengasuh SPK TA Dr Ngainun Naim dan host kita yaitu Bapak Ahmad Fahruddin, M. Pd. i.

Saat mendengar nama Pak Muhsin saya tentu langsung tertarik. Rasa tersebut bukan karena banyaknya prestasi yang beliau dapat melainkan dari segudang pengalaman yang beliau lewati. Bicara Pak Muhsin di tempat kelahirannya tentu sudah biasa, atau siapa juga yang belum kenal beliau. Sosok yang menginspirasi dalam berbagai bidang terutama dunia literasi, baca tulis, TBM, fundraising dan lainya. Termasuk diskusi yang akan kita ikuti yaitu tentang psychowriting. Maka tak ayal jika peserta dari acara zoom tersebut berasal dari berbagai daerah seperti Banten, Tasikmalaya, Mataram, Ternate, Gresik, Malang, Jogja dan lainya.

Nama Pak Muhsin memang sudah terlalu terkenal sampai-sampai saya sering tahu bahwa beliau sering diundang ke mana-mana termasuk Tulungagung untuk mengisi acara tentang dunia literasi. Tapi sungguh sayang, saya belum pernah bertatap muka langsung. Saya hanya sebatas tahu bahwa beliau pernah di undang ke MAN 1, IAIN TA, UBHI (dulu STKIP PGRI TA), hingga di acara FBM II yang diasuh Bunda Tjut Zakiya serta banyak lagi. Tapi syukur kepada Allah swt melalui zoom di malam itu saya bisa pandangi wajah beliau yang ternyata muriddin Hadratus Syeikh KH Abdul Jalil Mustaqim tersebut dengan puas. Singkatnya dari acara jagongan inilah saya tuliskan beberapa hal yang ada dalam benak hati tentang pemaparan dari Pak Muhsin tersebut.

Sebuah Kalam Isi

Saat acara di mulai, saya langsung memikirkan banyak hal. Otak dan pikiran beranjak langsung berjingkrak ingin segera penarikan penanya untuk menulis. Apalagi saat Pak Muhsin memperlihatkan koleksi buku-buku dalam etalase yang berjajar. Sehingga saya selalu berpikir kapan bisa juga memiliki "Cakruk Pintar" seperti yang beliau miliki. Bahkan dalam pikiran ekstrim saya berangan-angan andai House of Wisdom di Baghdad itu tidak dihancurkan Hulagu Khan mungkin saja pencerahan peradaban itu masih digenggaman umat Islam. Tapi apalah daya saat ini Barat memang masih menjadi kiblat ilmu pengetahuan.

Sebelumnya saya mengenal Pak Muhsin saat sering mengampu pelatihan hypnowriting, tapi penuturan beliau malam itu karena relevansi dan persoalan hak cipta akhirnya beliau menemukan yang lebih luas dari hanya sekadar menyihir pembaca lewat tulisan yaitu metode psychowriting. Metode psychowriting tersebut beliau kembangkan sebagai sebuah jalan agar orang yang tadinya tidak suka nulis jadi suka, yang tak berminat menjadi minat dan sebagainya. Bahkan orang-orang kini mengembangkanya dari hanya sekadar menulis kata benda hingga menumpahkanya secara deskripsi panjang.

Karena latar belakang beliau yang bergelut di dunia psikologi maka pantas beliau selalu mudah untuk menemukan cara bagaimana orang bisa tergugah hatinya untuk menulis. Memang menulis ini selalu berkaitan dengan minat, mood, emosi, inspirasi serta yang paling penting kata beliau adalah dengan merubah mindset. Selama ini kesalahan orang menulis adalah selalu menunggu inspirasi dan mood. Padahal keduanya harus diciptakan. Tanpa pengkondisikan personal bagaimana pun kita ingin jadi penulis tak akan terjadi. Jika mindset menulis telah dirubah dengan tepat maka orang akan enjoy sendiri dengan menulis lantas langkah selanjutnya adalah menanamkan percaya diri. 

Satu hal yang dalam acara tersebut selalu saya pikiran adalah tentang fundraising yang beberapa kali disinggung Pak Muhsin. Dalam beberapa tulisan terutama di media jurnal beliau menulis bahwa fundraising selalu berangkat dari ekonomi dan permasalahannya seperti kesenjangan dan krisis. Pengertian fundraising itu sendiri adalah proses mempengaruhi masyarakat baik perorangan agar menyalurkan dana, sumber daya non dana, simpati atau dukungan kepada komunitas. Intinya bukan meminta-minta, tapi menawarkan program kerja kepada mitra. (Muhsin Kalida, 2004:155).

Lalu saya berpikir jauh jika metode fundraising yang secara garis besar adalah menggalang dana, apakah mungkin metode tersebut digunakan sebagai penggalang tulisan. Subjektif saya mungkin saja, akan tetapi menulis sekadar menulis pasti semua orang terutama di dunia pendidikan pasti mampu. Cuma permasalahannya adalah bagaimana supaya aktivitas menulis ini dijiwai menjadi gaya hidup, kebutuhan, metode sekaligus cara menciptakan masyarakat yang literat. Hal ini yang pasti menjadi PR kita bersama para pegiat literasi.

Bahkan cara fund-writing yang dalam imajinasi saya selalu terbang mengapa Indonesia masih dikategorikan dengan tingkat melek literasi rendah, padahal orang seperti Pak Muhsin, Pak Naim dan lainya mungkin bercecer di mana-mana dalam menebar virus literasi. Mengapa data tersebut tak kunjung membaik atau memang faktanya demikian. Saya selalu optimis apa yang disebut fund-writing bisa terjadi di masa mendatang, bukan tentang jumlah buku atau siapa yang menulis melain sebuah keyakinan bahwa jalur berliterasi ini dapat mencerahkan peradaban. Nanti di masa mendatang anak cucu kita akan membaca karya kita, mereka akan sekuat tenaga memberi motivasi ke khalayak untuk sama-sama menulis, berkarya, saling memberi empati dan dukungannya.

Sebuah Kalam Penutup

Kesimpulan pada pertemuan yang hampir 2 jam tersebut adalah bagaimana kita bisa mengsinergikan antara kegiatan membaca dan menulis. Perlu dicatat bahwa menulis bukan sebuah skill bawaan sejak lahir melainkan sebuah pembiasaan. Bahkan kita tidak tahu bahwa menulis adalah bakat atau bukan, yang jelas pesan beliau menulislah sekarang juga.

Melalui menulis kita tebar kebermanfaatan. Seperti apa yang kita kenang lewat karya para shalafuna sholih yaitu sebuah buku atau kitab yang terus dikaji hingga kini. Selain hal itu saya pun menduga bahwa closing statement Pak Muhsin seperti di banyak tulisan dan acara yang beliau datangi yaitu memberi pesan untuk tidak tidur terlebih dahulu sebelum membaca dan jangan mati sebelum punya karya. Meminjam bahasa Almaghfurllah Prof KH Mustofa Ali Yakub yaitu ولا تموتن الا و انتم كا تبون.

*Penulis adalah santri SPK Tulungagung. Pernah singgah di jurusan kesunyian Tasawuf & Psikoterapi IAN Tulungagung.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde