Langsung ke konten utama

Membaca Sepanjang Hayat


Woks

Dewasa ini aktivitas membaca masih belum membudaya di tengah masyarakat. Membaca masih belum menjadi kebutuhan padahal aktivitas ini sangat penting guna menciptakan lingkungan yang literat. Jika membaca daftar tingkat leterasi dasar Indonesia tentu jangan ditanya? masih berada di urutan kebucit (akhir). Pada daftar literasi dunia Indonesia berada di urutan ke 60 dari 62 negara, sedangkan menurut Okky Madasari di tingkat ASEAN Indonesia menempati posisi ke dua terendah setelah Myanmar.

Jangan ditanya pula apa penyebabnya selain salah satunya tingkat minat membaca yang masih rendah. Padahal jumlah buku dan literatur termasuk banyak dan mudah diakses. Apalagi saat ini era digital kita sedang mengalami kelongsoran pengetahun, di mana-mana bisa sangat mudah mengakses informasi tinggal klik semua tersedia. Tidak kemauan manusianya yang masih menganggap membaca itu penting atau tidak.

Pesan Tuhan tentang Iqra memang belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Akan tetapi membaca di sini dimaksudkan agar manusia berpengetahuan, menggunakan akalnya, mengendalikan emosinya dan tentunya tidak terjebak ke dalam jurang kenistaan. Melalui membaca diharapkan kita tidak hanya sekadar tahu tapi mengerti sebab tidak semua orang tahu itu paham maksudnya. Tapi paling minimal melalui membaca kita bisa meneroka lebih jauh apa yang dapat dipelajari atau dihindari.

Membaca dan perjuangan

Tidak semua orang diberi kesempatan membaca dengan leluasa. Masih banyak di luaran sana orang-orang yang demi membaca saja harus berjuang mati-matian. Mereka harus berjuang keras demi mendapat akses buku, melewati medan yang sulit, bersembunyi dari petugas penjarah buku (konteks dulu: kolonial), hingga kekurangan secara fisik.

Bagi orang-orang yang haus dengan pengetahuan membaca buku adalah pekerjaan yang mahal. Selain harus memiliki buku mereka juga harus punya kesempatan waktu membacanya. Kita mengingat saat Pramoedya mulai membaca klipingan koran, buku bekas hingga bungkus nasi dari majalah. Ia harus berjibaku bersembunyi dari sipir penjara (saat di pulau Buru) yang suka menjarah buku bacaan. Terutama saat Orba berkuasa membaca sangatlah sulit, orang punya buku (baca: kiri) bisa jadi target pengintaian kuasa. Pada zaman itu dunia terasa gelap dan paradoks di satu sisi mereka percaya bahwa pengetahuan bisa didapat lewat buku tapi di sisi yang lain buku tersebut bisa menggerakan pikiran orang. Hingga lahirlah banyak buku propaganda yang dibuat pemerintah untuk mengkontrol masyarakat. Saat ini Pram sudah tiada mungkin ia tengah bersulang bersama bidadari yang membawakanya alkohol dan setumpuk buku.

Tidak hanya Pram, Ir Soekarno juga harus merasakan pahit getirnya membaca buku saat di Ende, Bung Hatta di Banda Neira, bahkan Tan Malaka si Bapak Republik pun harus puas membaca dari penjara ke penjara. Bagi saya pengekangan terhadap pembaca buku adalah pekerjaan yang paling menyedihkan. Orang ingin berpengetahuan memang dikhawatirkan membawa paham atau memiliki gerakan yang dulu sempat mengkawatirkan pemerintah. Tapi saat ini dunia sudah berbeda kita tinggal menikmati membaca dengan sepuasnya.

Ada satu hal menarik lainya tentang perjuangan membaca yaitu mereka yang mengalami ketunaan terutama tunanetra atau kesulitan melihat. Karena ada gangguan pada mata baik katarak, miopia, rabun, glukoma, atau bawaan sejak lahir mereka benar-benar berjuang dengan keras dan semangat. Hanya demi membaca mereka rela harus berlama-lama meraba huruf braille, mendekatkan buku ke wajah hingga menggunakan lup atau kaca pembesar bahkan ada juga yang hanya membaca lewat MP3.

Kadang saya berpikir apakah demi pengetahun harus menderita? atau memang dunia begitu kejam bagi mereka yang tak pernah bersyukur. Sedari kecil mata kita lahir dengan normal tapi saat dewasa untuk sekadar membaca saja terasa berat. Tapi berbeda dengan mereka walau dalam kekurangan membaca adalah hal yang utama. Mereka meyakini bahwa dengan berpengetahuan atau berilmu derajat mereka akan ditinggikan sehingga bukan dari fisiknya tapi ilmunya. Maka tak aneh jika membaca menjadi kebutuhan mereka. Membaca adalah pekerjaan yang tak pernah putus selama kita mau terus saja bersambung.

Membaca adalah pesan dari sabda Nabi untuk belajar sepanjang hayat. Sebelum kematian tiba seorang calon jenazah masih bisa berkesempatan belajar untuk melafalkan kalimat agung لا اله الا الله محمد رسول الله, di sinilah esensi belajar terus sebelum akhirnya kita menutup mata. Mari membaca, jika pun mata bisa buta tapi mata hati menembus semesta.

the woks institute l 29/11/20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde