Langsung ke konten utama

Mengingat Cita Rasa dan Kenangan Lewat Kuliner Kemarin


Woks

Mengingat masakan menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam ingatan lidah manusia. Masakan memang satu dari sekian kebudayaan tertua di muka bumi. Ia tidak bisa dipisahkan dari manusia sebagai mahluk yang berbudaya, termasuk dapat menciptakan banyak varian rasa lewat masakan. 

Sejak kecil lidah anak-anak sudah dimanjakan oleh beragam rasa dari makanan atau minuman. Termasuk mengingat kuliner masa kecil mengingatkan dengan cita rasa kampung halaman yang mengundang untuk pulang. Makanan memang tak bisa dilupakan sebab ia meninggalkan jejak rasa dan kenangan.

Beruntung Indonesia adalah surganya kuliner sehingga setiap suku memiliki adat budaya, cara, resep dan olehan masakanya sendiri. Seperti dalam buku ini sekitar 30 orang menuliskan tentang satu menu masakan bernama Blendrang. Blendrang adalah istilah cara masak umumnya pada sayur yang prosesnya dihangatkan untuk beberapa kali. Biasanya blendrang hanya terjadi pada sayur dengan bahan baku yang padat seperti kacang koro, kacang lotho, tewel (nangka muda), kacang panjang, kentang, rebung (bambu muda), terong, mlinjo dan pepaya.

Blendrang atau masakan kemarin yang telah dihangatkan tentu masuk kuliner tradisional yang melegenda. Entah sejak kapan orang-orang pertama kali membuat blendrang hingga masih bisa dikonsumsi. Konon blendrang sudah ada sejak masa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagaimana pula kata blendrang bisa mewakili masakan yang hidup sehari-hari itu. Bagaimanapun kuliner tersebut tercipta yang jelas ia pasti berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang. Bondan Winarno seorang jurnalis dan ahli kuliner dalam pengantar bukunya 100 kanan Tradisional Indonesia Mak Nyus (100 Best Street Food of Indonesia, 2013) memasukan kategori sayur dengan segala macam rempahnya ke dalam dangerously delicious. Cita rasa baik itu pedas maupun gurih setiap daerah memiliki ciri khasnya tersendiri. Bahkan ada anekdot semakin ke Timur masakan akan bercita rasa pedas sedangkan ke Barat rasanya cenderung manis. Sedangkan blendrang memiliki cita rasa yang unik bisa jadi ia sangat pedas karena ditambahkan bumbu ataupun tak berasa karena sering dipanaskan.

Menurut Fadly Rahman (2016) Bondan Winarno Si Petualang kuliner itu termasuk seorang gastronom, ia mampu mendeskripsikan hubungan makanan dan kebudayaan manusia dengan segala permasalahannya. Salah satunya ia pernah mencicipi pedas gurihnya ayam lodho dan rawon hingga terdengar "maknyus". Tapi saya tidak tahu apa beliau sudah pernah makan blendrang atau belum.

Buku ini bisa jadi pengetahuan baru tentang masakan blendrang. Yang walaupun pada tulisan tertentu beberapa orang menuliskan hasil pendapat para ahli bahwa masakan "nget-ngetan" alias yang dipanaskan beberapa kali tidak baik dikonsumsi tubuh. Alasan sederhananya yaitu sudah kehilangan berbagai nutrisi bahkan masakan yang selalu dipanaskan berulang kali dapat menyebabkan kanker.

Tapi bagi masyarakat desa blendrang telah menjadi menu keseharian. Ia mengandung ajaran kearifan lokal tentang arti sayang terhadap makanan. Tidak ingin membuatnya mubazir sehingga makanan tersebut selalu jadi sajian pelengkap di meja makan. Bagaimanapun juga blendrang selalu di hati pecintanya. Blendrang telah menemani kita saat di perantauan, kos-kosan, rumah mertua, hingga di tempat KKN. Rasanya memang tak pernah bohong dan blendrang membuktikan bahwa ia telah melegenda hingga anak cucu sebagai warisan penuh kenangan tak pernah terlupakan.


Judul Buku: The Legend of Blendrang (Kenangan, Pengalaman dan Kesan Tak Terlupakan)
Penulis: Aan Choirul Anam, dkk
Editor: Dr Ngainun Naim
Penerbit: Akademia Pustaka
Cetakan: Pertama, Oktober 2020
Tebal: 136 halaman
ISBN: 978-623-6704-11-0

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde