Langsung ke konten utama

Refleksi G 30 S: Memaafkan di Atas Mawar Berdarah


Woks

Di setiap ujung bulan September kita selalu disuguhkan beragam wacana dan kontroversi. Bulan yang selalu jadi perbincangan hangat dan tak pernah sepi dari komentar bahkan hingga debat meruncing. Bulan September terutama di tanggal 30 merupakan waktu di mana kita selalu memutar memori. Membuka kembali mata dan pikiran tentang sebuah sejarah kelam yang pernah di alami bangsa ini. Ya, tepatnya tanggal 30 September 1965 merupakan peristiwa pilu yang selalu kita kupas hingga saat ini yaitu tentang kudeta, intrik, pengkhianatan, darah, nyawa, genosida, kekuatan, hingga kekuasaan.

Anak-anak yang lahir di era milenium mungkin tidak akan tau tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Lebih-lebih jika wacana pelajaran sejarah akan dihapuskan, mereka akan sangat tidak tahu. Tapi amat disayangkan juga pengetahuan mereka tentang sejarah di bulan September ini terbentuk berkat adanya film dan berbagai famplet kebudayaan. Tentu film yang sampai saat ini selalu jadi ajang tontonan massal yaitu Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984) garapan Sutradara Arifin C. Noer (w. 1995). Film yang merekam peristiwa pemberontakan yang diduga oleh orang-orang PKI terhadap sipil dan militer itu sampai saat ini jadi tontonan wajib. Bahkan hampir setiap malam tanggal 30 September tersebut dinilai oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang tidak layak apalagi penontonnya melibatkan anak-anak SD. Walaupun tujuanya untuk mengenalkan sejarah.

Film tersebut setidaknya menjadi salah satu bukti bahwa bangsa ini pernah melewati masa kelam di mana 10 Jendral dan hampir setengah juta nyawa orang di berbagai daerah melayang sia-sia. Mereka disiksa lalu dihabisi nyawanya tanpa ampun. Akan tetapi alangkah eloknya sebagai penonton kita juga harus kritis. Tidak serta merta langsung mengamini isi film tersebut. Sebab dalam sebuah film pasti ada namanya parateks yaitu sebuah upaya untuk menggaet hati penonton bisa juga dibumbui dengan sedikit fiksi dan imajinasi. Termasuk ada muatan propaganda dari penguasa pada saat itu sebagai alat mengkontrol masyarakat.

Perlu juga kita nonton film lainya sebagai penunjang pengetahuan sebelum menyimpulkan sebuah peristiwa sejarah, seperti film Jagal (The Act of Killing, 2012) ialah film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer yaitu film dokumenter yang menceritakan pelaku pembantaian tahun 1965-1966, film Senyap (The Look of Silence, 2014) yang juga karya Joshua Oppenheimer, yaitu film yang menceritakan tentang keluarga korban 1965-1966, dan film Nyala: Nyanyian Yang Tak Lampus(2018) karya Fauzi Rahmadani, yaitu film yang menceritakan tentang korban selamat pada tragedi 1965-1966.

Perlu diingat bahwa sejarah bersifat debatebel sehingga kita tidak bisa mempelajari sejarah hanya dari potongan scane pada film. Kita perlu riset, membaca, wawancara dan melihat sumber bukti agar kita paham tentang kejadian di masa lalu. Tentang tragedi G 30 S, tentu sampai hari ini masih menyisakan tanda tanya besar siapa pelaku aslinya? dan siapa pula yang harus bertanggungjawab atas kejadian ini Meminjam bahasa Nurcholish Madjid jangan sampai kita terkena politik belah bambu, yaitu ada di mana satu di angkat dan satu laginya diinjak. Sebab di era kekinian isu PKI selalu laris digoreng demi adu domba dan kepentingan. Sampai hari ini kita belum tau pasti siapa dalang dalam tragedi berdarah yang hampir menewaskan ribuan orang itu apakah PKI, Angkatan Darat, CIA, Soeharto, atau siapapun itu. Yang jelas dilihat dari berbagai sudut pandang kita hanya bisa menyimpulkan dalam sejarah "memaafkan iya tapi lupa jangan" terhadap siapapun pelakunya.

Saat ini yang bisa kita lakukan adalah membenarkan bahwa G 30 S sebagai sebuah fakta sejarah. Di mana kita tidak boleh mengulanginya di masa mendatang. Cukup peristiwa itu jadi pengingat kita untuk belajar dari sejarah bahwa di balik setiap revolusi pasti ada pengorbanan. Serta mengingat lagi bahwa kita dan negara belum berupaya apa-apa.

Jangan Takut PKI & Komunisme

Harus dipahami bahwa PKI dan Komunisme adalah sesuatu yang berbeda, kendati demikian memang satu dengan lainya ada saling keterkaitan. Harus dicatat bahwa PKI adalah nama sebuah partai politik berhaluan komunis yang dulu sempat berjaya di era Presiden Soekarno. Jika orang takut partai ini bangkit rasanya tidak mungkin sebab partai tersebut telah dibubarkan melalui TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Berdasarkan keputusan MPRS itulah rasanya sangat tidak mungkin jika partai berlambang palu arit itu akan muncul kembali, kecuali berkamuflase ke organisasi lain.

Komunisme adalah sebuah paham yang dibawa oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tentang sebuah keyakinan bahwa masyarakat dapat mencapai kesetaraan dengan menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (sumber daya yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang). Mereka sebaliknya dikendalikan oleh negara, dan setiap individu menerima bagian dari manfaat yang diperoleh dari kerja bersama, berdasarkan kebutuhan mereka. Lambat laun ajaran komunis di Indonesia hanya dimaknai sebagai ajaran yang tidak percaya theis. Sehingga yang tidak beragama selalu mendapat label "orang komunis". Di sinilah letak kekeliruan kita yang tiap tahun tidak pernah cerdas selalu saja menjadi korban pembodohan elit politik.

Seharusnya diri ini semakin sadar istilah hantu PKI akan bangkit dan menakut-nakuti hanya akal-akalan mereka yang berkepentingan. Cara itulah dianggap ampuh agar masyarakat bersimpati dan memiliki stigma terhadap mereka anak turun yang pernah terlibat di tragedi 65/66. Dan ternyata propaganda itu menjadi jurus ampuh untuk mengelabui lawan politik.

Jangan sampai karena ketakutan yang dikonstruk oleh orde baru itu malah membuat kita paranoid. Padahal jika telisik lebih jauh tragedi itu berkelanjutan dan tragisnya pasca 30 September ada upaya pembersihan terhadap mereka yang dianggap PKI. Seharusnya ketakutan kita terletak pada generasi muda yang tidak minat dengan belajar, jauh dari ilmu dan agama. Mereka lebih mencintai gawai dan budaya luar. Mereka tidak peduli dengan keadaan bangsanya. Sikap acuh tak acuh itulah yang sekiranya patut kita takuti, sebab hal itu akan berkaitan dengan jati diri. Hal itu pulalah yang juga perlu kita perhatikan lebih jauh. 

Belajar Memaafkan Belajar Kehidupan

Bagaimana pun sejarah tetaplah sejarah. Ia bersifat masa lalu. Kemarin ada untuk hari esok. Bagaimana pun keadaanya kita sebagai generasi penerus hanya bisa mengingat sekali pun terhadap sejarah kelam. Tentu kita tahu bahwa sejarah adalah pintu gerbang mengantar menuju masa depan. Dapat dipastikan pula bahwa para pemenanglah yang akan menuliskan sejarah itu. Akan tetapi bagi yang kalah pun masih diperkenankan menuliskan sejarahnya sendiri.

Kita tahu sejarah kelam masa lalu jika diungkit lagi di masa kini akan menimbulkan sayatan baru. Akan tetapi memaafkan lebih baik daripada dipendam lalu jadi dendam. Begitulah arti rekonsiliasi yang selalu digaungkan Gus Dur bahwa minta maaf memang tidak otomatis mengakui bersalah. Tapi hanya inilah cara yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban sejarah masa lalu.

Tidak hanya pribadi, setiap bangsa pun punya masa kelamnya sendiri. Sebut saja saat pergantian kekuasaan atau resesi pasti harus berbayar dengan pengorbanan. Kita ambil contoh revolusi Perancis 1789, revolusi Jerman 1848, revolusi Kuba 1959 di bawah pimpinan Fidel Castro dan Che Guevara, revolusi Iran 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini dan masih banyak lagi. Semua revolusi itu tak lain demi cita-cita perubahan walaupun sudah berapa nyawa bergelimpangan hanya demi kekuasaan. Perubahan memang selalu barter dengan hal yang lebih prinsipil dalam bahasa lain memakan tumbal.

Tidak hanya di Eropa dan Indonesia, sejak zaman Nabi Muhammad saw pun tragedi berdarah sudah terjadi terutama di saat berkecamuk perang antara kaum kafir vs muslimin. Tidak hanya kekuasaan, perebutan kebenaran, dan kesalahpahaman adalah faktor utamanya. Ambil contoh tragedi tewasnya Umar bin Khattab oleh Abu Lulu'ah, tewasnya Utsman bin Affan oleh pemberontak Mesir, tewasnya Ali bin Abi Thalib oleh Abdullah bin Mulzam bahkan cucu kesayangan Nabi yaitu Sayyidina Husein meregang nyawa secara tragis di padang Karbala.

Tapi ada satu momen yang tidak boleh kita lupakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mencontohkan akhlak yang agung (khuluq al adhim) tentang sebuah arti maaf terhadap sesuatu yang besar dan berarti sekali pun. Paman Nabi SAW Hamzah bin Abdul Muthalib dibunuh pada Perang Uhud oleh Wahsyi bin Harb lalu hatinya dicabik-cabik dan dikunyah oleh Hindun binti Utbah (Istri Abu Sufyan). Peristiwa itu menjadi tangis pilu Nabi dan para sahabat bahwa singa Allah itu harus mati secara tragis. Tapi Nabi sebagai pemimpin yang mulia beliau tidak menyimpan dendam, justru karena akhlak beliau Islam menjadi tangguh. Beliau pun memaafkan kesalahan Hindun dan Wahsyi. Hingga akhirnya dalam sejarah Hindun dan Wahsyi masuk Islam dan berjuang bersama Nabi saw.

Teladan tentang maaf tersebut sudahlah cukup dicontohkan Nabi. Saat ini kita sebagai umatnya di akhir zaman harus menirunya sekali pun itu hal yang sulit. Menerima atau tidak yang jelas meminta maaf dan memberi maaf lebih baik daripada menyimpan dendam. Mari kita buka kembali pikiran agar semakin jernih dalam konteks peristiwa G 30 S bahwa siapa pun yang salah mereka tetaplah anak bangsa. Jangan dijauhi apalagi didiskriminasi, lebih baik didekati dan memberi pesan jangan sampai diulangi.


Sumber Tulisan

CNN Indonesia.com
Republika.co.id
Sajian Khusus Alif.id
There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings, (terj). Irma Garnesia.
Tirto.id
Wikipedia.com









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde