Langsung ke konten utama

Menjadi Juri Kompetisi Essay


Woks

Sejak awal saya didaulat oleh teman-teman HMJ TP untuk menjadi salah satu juri lomba essay dalam rangka milad TP dan kontribusi di tengah pandemi. Awalnya saya menolak sebab ketidakpantasan saya menerima amat tersebut. Akan tetapi ketika mereka mengutarakan banyak hal terutama terkait buku, saya akhirnya mengiyakan. Hal itu saya niatkan pula sebagai sarana belajar tanpa henti. Di sisi lain saya juga ingin berbagi pengalaman karena dulu saya pernah berkecimpung di dalam dunia essay dan kepenulisan.

Saat kami beberapa kali ngopi untuk mengonsep tema, alur pendaftaran, kriteria penilaian, syarat peserta, serta menyusun petunjuk teknis (juknis), saat itu kami diuji dengan keputusasaan. Tapi pada akhirnya kami optimis hingga akhirnya esaay bisa terlaksana dengan baik. Acara yang bertajuk "Essay Competition Tasawuf Psikoterapi 2020" tersebut membawa tema "Berkontribusi di Tengah Pandemi" dengan sub tema di antaranya: tasawuf dan politik, lingkungan, sosial, Islam populis, kritik tasawuf terhadap dunia modern dan lainya. Event yang baru pertama kali ini awalnya kami hanya menargetkan 20 peserta saja. Jumlah itu sudah termasuk juara sekaligus yang akan dibukukan. Ternyata ekspektasi kami meleset, peserta terkumpul hingga 63 yang terdiri dari berbagai daerah dan kampus se-Indonesia. Kami pun merasa bahagia sekaligus optimis bahwa esok kita bisa menyelenggarakan event seperti ini dengan lebih antusias lagi.

Menurut saya menjadi juri diajang seperti ini tentu sangat sulit, karena kita dituntut kompeten, kredibel dan objektif. Tidak boleh memihak kesalah satu peserta yang dalam hal ini tuan rumah. Di mana-mana sudah bukan rahasia lagi bahwa terkadang subjektivitas juri selalu mengarah ke tuan rumah sebagai pemilik event. Tapi nyatanya acara ini tidak terjadi hal demikian sehingga saya pun dapat belajar di sini.

Mas Virgo Nandang Setiawan (juri 1), Pak Chandra Halim (juri 2) serta saya sendiri Woko Utoro (juri 3) tentu sangat alot dalam memberi penilaian dengan 3 kriteria di antaranya: gagasan, kesesuaian tema dan struktur tulisan. Hal itulah yang selalu membawa perdebatan demi memutuskan siapa yang layak sebagai juara. Tentu penilaian itu tidak mudah sebab mayoritas peserta karyanya sangat bagus. Hal itu terbukti dari cara mereka menulis, tema yang asyik dan pastinya gagasan yang laik diacungi jempol. Apalagi saat pandemi seperti ini tulisan mereka sangat cocok untuk dibawa ke ruang baca kita.

Saya belajar dari para juri tentang tulisan bahwa sekelas kampus besar pun belum tentu tulisanya bagus. Tradisi literasi memang unik sebab tidak semua orang bisa fokus di dalamnya. Di sana kita masih banyak menemukan gagasan yang tidak sesuai dengan isi tulisanya, ada juga yang mengandung banyak plagiasi, termasuk masih banyak peserta yang belum tau struktur penulisan essay. Sehingga dari berbagai macam masalah yang ditemui di lapangan akhirnya kita sepakat untuk tidak menilai dengan angka. Karena angka menurut Mas Virgo akan membuat karya jadi rancu. Kita tidak bisa menilai dengan angka, karena angka bukan indikator utama sebab lainya kita tidak punya alat ukur yang akurat. Maka sistem komentar, catatan, dan musyawarah menjadi hal yang paling bijak.

Hasil penjurian yang berjalan sekitar 5 hari hingga magrib itu akhirnya diambil 20 peserta termasuk 3 yang keluar sebagai juara. Kita melihat dari berbagai sudut pandang termasuk gagasan dan tulisan layak baca. Karena outputnya akan dibukukan maka tulisan tersebut dirasa perlu dipercantik sedikit lewat editor. Sebagai catatan dewan juri terkait tulisan tentu harapanya peserta dapat memperhatikan struktur tulisan essay, kesesuaian tema, gagasan, mengambil rujukan, plagiasi, gaya bahasa, jumlah kata, font, serta banyak lagi lainya. Jangan sampai tulisan asal jadi atau proposal penelitian dikirim begitu saja. Seharusnya ada pertimbangan khusus dan cobalah diasah terus.

Pesan kami terutama untuk event ini semoga bisa menjadi ajang saling silaturahmi antar sesama insan akademik untuk bersapa lewat karya. Jadi lomba bukan ajang pamer tapi sebuah cara untuk berkontribusi, berpartisipasi dan saling silaturahmi. Kami secara pribadi pun terimakasih dan permohonan maaf kepada panitia termasuk peserta mulai dari Bandung, Jakarta, Jogja, Semarang, Surabaya, Jember, Lampung, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, dan lainya semoga selalu semangat dan jangan pernah berhenti berkarya. Salam hangat dari IAIN Tulungagung dan akhirnya selamat buat M. Naufal Hisyam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Juara 1), Adha Ginanjar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Juara 2), dan Cindy Geovani Yuselly UIN Bandung (Juara 3). Untuk 20 peserta yang masuk dalam antologi bisa dicek di IG Tasawuf_Psikoterapi.

Salam,
the woks institute 28/11/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde