Langsung ke konten utama

Sandiwara, Lawak dan Personifikasi Punakawan


Woks

Salah satu budaya Pantura yang masih bertahan hingga hari ini adalah pagelaran sandiwara termasuk juga wayang kulit, tarling dan sintren. Tradisi pentas yang melibatkan banyak pemain itu sering kita dapati sisipan acara berupa lawakan dalam setiap lakon pagelaran. Lawakan bertujuan untuk menghibur dan pastinya scane yang selalu dinanti. Lawakan juga bertujuan untuk membuat penonton tertarik untuk tetap setia mengikuti acara hingga usai. 

Dalam tradisi pertunjukan wayang khususnya yang ada di Jawa Timur biasanya terdapat juga lawakan yang disebut dagelan atau juga limbukan. Limbukan atau dagelan bahkan mudah didapati dalam pertunjukan teater seperti ketoprak, ludruk dan kentrung. Perlu diketahui bahwa limbukan sebenarnya dinisbatkan kepada Limbuk anak perempuan dari Cangik, ia adalah tokoh wayang yang menggambarkan rakyat bawah. Ia ditampilkan sebagai wayang dengan badan gemuk dengan suaranya yang keras. Ia dimainkan dengan lawakan yang jenaka. (Kresna, 2012:114).

Kita mengenal seni pertunjukan daerah Pantura khususnya Indramayu dan Cirebon yaitu sandiwara. Sandiwara merupakan seni pertunjukan yang mengkombinasikan antara seni peran, tari, dan musik. Tidak tanggung-tanggung untuk menyukseskan pagelaran ini seorang sutradara membutuhkan banyak pemain terdiri dari pemain peran, pemain gamelan (nayaga), tukang dekor dan soundman. 

Seni sandiwara ini dimulai dengan membuka kelir (baground penutup) lalu ditampilkan tari serimpi (tari pembuka) dan suluk pembuka (syair pembukaan). Setelah semua terlaksana termasuk sambutan biasaya ada juga tradisi temo dan klomjen. Tradisi temo yaitu sebuah ritual untuk mengiringi pengantin dengan iringan syair-syair biasanya penganten baru karangan Maestro Tarling H. Abdul Ajid. Klomjen yaitu tradisi merebutkan bekakak ayam (ayam panggang) antara dua mempelai. Tradisi ini khusus dalam acara walimatul ursy atau pesta pernikahan. Klomjen merupakan simbolisasi pembagian rezeki antar kedua mempelai. Setelah semua usai biasanya sandiwara dimulai dengan membawakan lakon tertentu. Salah satu lakon terkenal yaitu Legenda Dermayu, Siluman Buaya Putih Jembatan Sewo, Pesugihan Bantarbolang, Misteri Bantaran Kali Cimanuk, Cindelaras, Kramat Syeikh Datuk Kahfi dan banyak lagi. Beberapa lawak atau bodor yang terkenal di antaranya; Wa Gembes, Joni, Wa Kalur, Wa Penjol, Wa Deles, Wa Bondol, Wa Kancil, Wa Ribut dan lainya.

Lawakan dan Punakawan

Setiap pagelaran sandiwara di tengah-tengah lakon biasanya bodor ditampilkan untuk membawakan scane lawakan. Acara yang mengundang gelak tawa tersebut dipercaya sebagai jurus jitu agar penonton semakin tertarik dengan pagelaran tersebut. Selama ini kita masih yakin bahwa lawakan bisa menurunkan resiko stres, otot tidak tegang dan tentunya membuat suasana riang gembira. Tapi dalam riwayat di kitab Ta'lim Mutaalim bahwa kebanyakan tertawa bisa membuat keras hati. Walaupun ini kontra setidaknya kita bisa belajar sekaligus melihat lebih jauh tentang konteksnya.

Lawakan yang dibawakan oleh para pelawak atau dalam bahasa kita dikenal dengan bodor (Sunda: bobodoran). Tokoh-tokoh lawak tersebut sebenarnya tengah membawakan personifikasi dari para punakawan yang terdiri dari Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Di Indramayu grup sandiwara seperti Lingga Buana, Chandra Sari, Bina Remaja Indah, Galu Ajeng, Indra Jaya, Aneka Tunggal serta banyak lagi lainya tentu memiliki tokoh lawaknya sendiri. Aneka Tunggal misalnya dengan tokoh lawaknya yaitu Joni sering membuat penonton terkoyak dan tertawa. Orangnya yang lucu dengan kepala plontosnya menjadi icon dari grup sandiwara tersebut.

Joni kadang kala merubah dirinya seperti Gareng dan Petruk, lucu dan menghibur. Selalu banyak lelucon yang blakasuta (apa adanya) untuk membawa lakon menjadi diterima masyarakat. Selain itu ia juga kadang menjelma Bagong dengan gayanya yang pemberani sekaligus agak ceroboh. Tapi kadang juga ia seperti Semar yang penuh petuah dan pesan-pesan moral untuk disampaikan kepada para punggawa dan umumnya masyarakat.

Kehadiran punakawan memang sejatinya perlu diperankan dalam sebuah lakon sandiwara. Tujuanya agar orang bisa belajar dari tokoh pewayangan tersebut. Kita tahu bahwa punakawan berasal dari dua kata puna berarti paham dan kawan berarti teman. Orang yang sudah paham tentang temanya seharusnya sudah tidak memiliki problem tentang kemanusiaan. Ia seolah sudah menyatu bahwa dia dan dirinya sudah tak ada bedanya. Sehingga istilah saling cela, sumbu pendek dan sentimen tidak ditemui lagi. Punakawan itu juga hadir sebagai personifikasi yang bukan hanya simbol. Artinya ia adalah tokoh yang kehadirannya bisa saja mengkritik, menyindir, serta memberi warta agar orang selalu eling lan waspada. Seperti kecenderungan Semar dengan pesan moralnya yang selalu mengingatkan kita kepada Tuhan.

Dari pagelaran sandiwara kita belajar bukan sebagai hiburan semata melain media dakwah, sarana efektif menyampaikan moral dan tempat untuk memberi kritik dan petuah hidup. Mari lestarukan budaya kita yang kaya ini sebelum akhirnya lupa, meminjam istilah Haryono Haryoguritno (1987) seorang pakar Wayang Kulit Purwa Gagrak Surakarta bahwa anak zaman sekarang itu kurang peduli terhadap kesenian daerahnya sehingga disebutlah mereka seperti Bagong Wanda Blo'on. #Budaya Tanana Sirna.

the woks institute l rumah peradaban 1/12/20














Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde