Langsung ke konten utama

Indonesia Dalam Sebuah Perlombaan Lari


Woks

Menyongsong 1 abad usia negeri kita tercinta Indonesia apa yang sudah disiapkan untuk menyambut momentum itu. Tentu sampai hari ini kita masih terus berproses menemukan cara agar di 2045 itu benar-benar mewujudkan cita-cita Nasional menuju Indonesia emas. Sebuah fase sejarah yang terbilang panjang dan memelahkan pastinya akan dilewati demi tujuan itu. Bangsa ini besar sejak lahir sehingga di tahun mendatang kita memiliki semangat optimistis untuk mampu sejajar dengan bangsa lain di dunia.

Cita-cita untuk berdaya saing dengan negara di dunia tentu membutuhkan amunisi yang memadai. Modal pintar saja tidak cukup akan tetapi perlu juga membaca peluang dan memanfaatkan keadaan sebab dewasa ini negara kita berada di antara tantangan dan peluang. Apalagi saat ini keadaan berbagai negara di belahan dunia sedang babak belur dihajar Covid-19, termasuk Indonesia. Bagaimana kita menyiasatinya termasuk mencari cara agar mampu bangkit di tengah krisis.

Bayangan akan comeback nya Indonesia tentu sesuatu yang digadang-gadang oleh semua pihak. Kebangkitan itu menjadi estafet di mana sejarah tercipta sejak momen kebangkitan Nasional, Hari Sumpah Pemuda hingga kemerdekaan. Saat ini kemerdekaan harus dilanjutkan dengan proses mempertahankan dan mengisinya dengan baik. Kemerdekaan tanpa visi misi yang kuat hanya akan jadi angin lalu. Lebih dari itu di masa mendatang Indonesia akan menghadapi digitalisasi yang masif dan bonus demografi yang tak terkendali.

Menuju Indonesia emas pada tahun 2045 tentu kita saat ini sudah dinanti segudang masalah yang kompleks hampir menyeluruh ke sendi-sendi kehidupan. Permasalahan itu kian hari seperti bola salju terus menggelinding dan membesar. Kondisi ekonomi yang fluktuatif ditengarai menjadi momok menakutkan sekaligus kenyataan jika bom waktu meledak dan sampai terjadi resesi. Krisis dan ketimpangan sosial menambah daftar kasus yang harus ditangani. Belum lagi dekadensi moral di kalangan remaja semakin mengkhawatirkan. Para pemeluk agama yang belum dewasa juga termasuk yang memperkeruh keadaan psikososial kita. Serta masih banyak lagi kasus-kasus yang belum bisa terpecahkan termasuk masalah korupsi dan politik kepentingan oligarki yang terus menggurita.

Bukanya tanpa solusi bahwa untuk menuju Indonesia emas tersebut kita memerlukan strategi berupa perbaikan secara holistik terutama terhadap sumberdaya manusianya. Karena dengan kesadaran kolektif kita bisa bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia hebat. Negara yang kuat tentu tidak dipersenjatai dengan peluru dan pistol melainkan dengan pengetahuan. Kaitanya dengan pengetahuan tentunya bermuara pada seberapa tingkat kualitas pendidikan, semakin baik pendidikanya maka akan melahirkan generasi yang unggul dan sebaliknya. Maka dari itu secara sadar jika pendidikan di Indonesia masih stagnan dengan berkutat pada sistem yang belum jelas maka jangan harap generasi emas akan terlahir.

Selama ini dunia pendidikan kita mengalami darurat keteladanan. Banyak di kalangan guru dan pelajar belum melek sejarah bahwa bangsa ini besar karena adab dan peradaban. Akan tetapi dewasa ini kita masih mendengar rentetan kasus pelecehan, bullying, diskriminasi, arogansi, kesewenang-wenangan, dan lainya di dunia pendidikan. Sehingga out put dunia pendidikan kita masih tergolong rendah belum lagi jika membahas kemampuan dasar literasi seperti membaca, menulis, numerasi, perpustakaan hingga teknologi.

Permasalahan yang kompleks itu sesungguhnya sangat sulit dilenyapkan. Yang kita bisa upayakan adalah mencegahnya atau mengurangi akar permasalahannya. Di masa mendatang sebagai pemuda tentu kita berangan-angan bahwa kualitas pendidikan akan terus membaik. Penguatan nilai-nilai karakter dari Pancasila selalu digali dan terimplementasikan. Tidak lupa pula kajian tradisi dan budaya dihidupkan lagi karena betapa pentingnya nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya bagi masyarakat. Tradisi budaya tersebut sebagai pembuka bahwa nenek moyang kita ramah dan berbudaya. Corak masyarakat yang egaliter memudahkan kita berinteraksi dengan banyak kalangan sekalipun berbeda keyakinan. Prinsip saling keterbukaan dan menjunjung tinggi nilai toleransi, menghormati, menghargai harus terus menjadi bagian hidup yang mewarnai sehari-hari.

Harapan demi harapan tentu kita bangun sejak dini di mana berawal dari kemampuan negara dalam beradaptasi dan bertransformasi dalam setiap perubahan. Setidaknya jika perubahan itu dimaknai dengan positif maka kita yakin bahwa esok negara ini akan melesat jauh. Bahkan menurut beberapa pakar Indonesia akan diprediksi menjadi 10 dari negara yang berpengaruh di dunia. 

Negara kita jika diilustrasikan saat ini seperti sedang mengikuti perlombaan lari. Di mana dari setiap negara akan berlari saling beradu cepat, entah dalam sektor ekonomi, teknologi ataupun sumberdaya yang jelas hampir semua negara berlomba-lomba ke garis finish duluan. Tak peduli siapa yang tertinggal yang jelas prinsip lomba adalah siapa yang tercepat menuju garis finish. Saat ini kita hanya bisa menjadi pelari yang sportif, yaitu pelari yang tidak hanya memburu juara tapi juga membantu jika ada pelari yang terjatuh di medan laga. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh bangsa kita yaitu tetap berlari bukan tentang siapa yang duluan tapi tentang mampu membantu sesama. Salah satu sikap itu kota buktikan lewat komitmen untuk terus membantu Palestina.

Hal inilah yang kita bayangkan di esok hari di mana negara kita mampu menekan perbedaan dengan kelompok apapun , mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi, menegakan politik adil dan makmur serta menjiwai gotong-royong sebagai kendaraan mencapai Indonesia emas. Yang terpenting adalah mampu memegang erat nilai karakter, budaya, etika, kearifan negara sendiri. Tanpa hal itu negara kita akan kelimpungan sebab menuju usia 1 abad Indonesia akan mengalami banyak tantangan besar. Melupakan sejarah dan jari diri bangsa adalah kesalahan fatal. Maka dari itu yang bisa kita lakukan adalah dengan berfikir global tanpa melupakan lokal.

Sederhananya aspek ketercapaian menuju Indonesia emas itu adalah sesuai indikator yang ingin dicapai seperti lapangan kerja memadai, pemerataan ekonomi berkelanjutan, pemanfaatan teknologi tepat guna, kualitas pendidikan baik, pemerataan pembangunan, ketahanan Nasional berupa pangan, keamanan dan kesehatan, sosial budaya serta aspek lainya. Jika aspek-aspek tersebut diperhatikan pemerintah dengan maksimal dapat dipastikan kita mampu berdaya saing dengan negara manapun di dunia.

the woks institute l 8 /11/20




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde