Langsung ke konten utama

Belajar Hidup Sederhana






Woks

Apakah kita benar-benar hidup ataukah kita hanya sekadar latihan hidup. Tapi apa benar ada orang yang telah hidup sebelumnya kecuali kita memang dihidupkan. Bagaimanapun juga kehidupan harus terus diteruskan dan ini lebih baik daripada mati. Salah satu cara bertahan hidup adalah dengan menjadi sederhana.

Sederhana nampaknya sikap yang biasa akan tetapi dalam prakteknya tidak semudah yang dibayangkan. Menjadi sederhana berarti menjadi rumit dan tak pernah terdefinisi. Sehingga dari itulah kita hanya bisa menelaah dari tingkah laku yang ada bagaimana orang mempraktekkan sikap satu ini.

Sederhana memang selalu berkaitan dengan makna hakikat atau lebih tepatnya ada makna tersurat di dalamnya. Misalnya ada seorang anak yang sudah sarjana akan tetapi ia merasa belum ada apa-apanya dibanding dengan orang tuanya. Bisa dibayangkan orang tua dulu nampak tidak meyakinkan dan hanya sebagai seorang petani. Akan tetapi dari kesederhanaan hidupnya justru menyimpan keistimewaan. Mereka bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi bahkan masih sempat meninggalkan warisan berupa sawah.

Bisa dipahami bahwa dari cerita kesederhanaan itulah yang justru dapat melahirkan keluarbiasaan. Menjadi sederhana memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Karena di sana ada proses serta perjuangan yang harus dilewati. Misalnya lagi ada orang kaya dermawan justru mereka terlahir dari keluarga sederhana dulunya. Akan tetapi kehidupan mereka justru tidak merubah sikapnya untuk tetap sederhana. Bisa dilihat kesederhanaan Buya Syafi'i Ma'arif, seorang besar guru bangsa yang hingga akhir hayatnya meninggalkan jejak teladan. Banyak tokoh bangsa yang hidupnya sederhana seperti Bun Hatta, KH. Agus Salim, Jendral Hoegeng, hingga Ki Hadjar Dewantara.

Sejak dulu kesederhanaan memang menguatkan akan tetapi keserakahan akan membawa bencana. Syeikh Abdul Qadir Jaelani dan Syeikh Abil Hasan Syadzily dua orang tokoh besar yang kaya raya akan tetapi laku hidupnya sederhana. Bahkan junjungan kita Nabi Muhammad SAW bisa masuk semua kategori kehidupan beliau orang yang miskin di satu sisi sedangkan di sisi lain beliau juga kaya dan sederhana. Kesederhanaan Nabi Muhammad itulah yang juga diikuti oleh para sahabatnya. Abu Bakar, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah para orang kaya yang dermawan. Sahabat Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib juga tak kalah sederhananya bahkan Umar itu pakaiannya terdapat 12 tambalan padahal pada saat ini beliau sudah bergelar Amirul Mukminin.

Laku hidup sederhana memang tak pernah mengecewakan. Sikap ini nampaknya tidak terlalu istimewa bahkan cenderung statis dan tak diperhitungkan akan tetapi jika dipraktekkan dampaknya luar biasa. Kita bisa berkaca bahwa dinosaurus nampak begitu digdaya akan tetapi punah. Akan tetapi ayam yang nampak sederhana itu justru masih bertahan hingga kini. Hal itu juga berlaku bagi mereka yang hidup bermewah-mewah justru lebih cepat binasa dibandingkan yang hidup sederhana. Kesederhanaan memang cenderung menyelamatkan. Dalam perkara harta seorang bijak mengatakan bahwa kita jangan dimanja gaya hidup tapi hiduplah dengan sederhana. Jangan sampai harta melenakan semua karena ia hanya sekadar wasilah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan bukan tujuan utama.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/8/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde