Langsung ke konten utama

Menimba Ilmu Butuh Waktu Lama?




Woks

Kitab Ta'limul Muta'allim sebagai salah satu literatur populer di pesantren sangat membantu para santri dalam memahami etika atau cara meraih ilmu. Kitab Ta'limul Muta'allim sampai hari ini masih dianggap sebagai pedagogi utama dalam pengajaran ilmu dan akhlak di pesantren. Bahasa yang mudah dipahami dan disertai contoh berupa nadhom menambah kemudahan para santri dalam menghafal. Salah satu hafalan para santri dalam kitab Ta'lim terpadatkan pada Syiir Alala.

Bunyi syiir Alala yang terkenal dan diambil dari kitab Ta'lim dan berkenaan dengan syarat menimba ilmu yaitu:
Ø°ُÙƒَاءٍ Ùˆَ Ø­ِرْصٍ Ùˆَ اصْØ·ِبَارٍ Ùˆَ بُÙ„ْغَØ©ٍ # Ùˆَ اِرْØ´َادِ اُسْتِاذٍ Ùˆَ Ø·ُÙˆْÙ„ِ زَمان
Dari syiir tersebut satu dari sekian yang menarik dibahas adalah thuli zamaan atau menimba ilmu itu butuh waktu. Waktu tersebut apakah lama atau sebentar, lantas bagaimana dengan sistem pendidikan alternatif yang serba cepat atau kita kenal dengan kelas akselerasi. Apakah pendidikan kejar paket, kelas les privat atau home schooling tidak masuk bagian dari thuli zamaan ini?

Membahas thuli zamaan atau menimba ilmu itu butuh waktu setidaknya ada beberapa pandangan, di antaranya; pertama bahwa menimba ilmu itu harus butuh waktu lama. Dalam hal ini waktu adalah konteks hitungan hari, bulan tahun. Jadi rerata para santri yang berhasil adalah ketika mereka di pondok hingga bertahun-tahun misalnya, KH. Abdul Karim Lirboyo mondok di Tebuireng dan Pondok Syaikhona Kholil Bangkalan sekitar 40 tahun, serta banyak lagi contoh lainnya. Perlu diingat bahwa mondok lama ini dalam rangka memahami ilmu agama. Maka dari itu dalam mendalami ilmu agama tidak boleh instan apalagi hanya mengandalkan rasio dan internet. Sebenarnya ada juga kiai yang berhasil menimba ilmu dengan tidak membutuhkan waktu lama akan tetapi mereka nomaden dari pondok ke pondok.

Kedua, thuli zamaan berarti kualitas proses dan kesungguhan. Misalnya seseorang menimba ilmu satu tahun dan berhasil dibandingkan dengan orang menimba ilmu bertahun-tahun akan tetapi kurang serius maka jika ditimbang akan lebih berbobot yang satu tahun. Jadi sangat jelas bahwa penekanan thuli zamaan di sini lebih kepada kesungguhan si penimba ilmu bukan lamanya waktu.

Ketiga, thuli zamaan dimaknai sebagai metode. Artinya dalam menimba ilmu itu bukan soal lama atau sebentarnya melainkan lebih kepada membutuhkan metode atau model apa yang cocok. Kita tentu tahu bahwa dunia pendidikan berkembang dinamis dan selalu meminta beradaptasi secara cepat. Maka dari itu thuli zamaan di sini diartikan metode dalam mendidik anak, jika metodenya tepat maka tidak butuh lama dalam proses pendidikan tersebut dan sebaliknya jika metodenya kurang tepat maka pendidikan akan berlangsung lama.

Keempat, thuli zamaan itu bermakna long time education atau pendidikan sepanjang hayat. Dalam Islam terkenal dengan sebuah maqola atau ada yang menyebutkan hadits dhoif Ø£ُØ·ْÙ„ُبُ الْعِÙ„ْÙ…َ Ù…ِÙ†َ الْÙ…َÙ‡ْدِ إلى اللَّÙ‡ْدِ. Walaupun begitu thuli zamaan menjadi dimensi yang lebih luas artinya pendidikan itu tidak sebatas dalam ruang formal melainkan hingga mereka tua.

Demikianlah beberapa perspektif mengenai thuli zamaan dalam kitab karangan Syeikh Az Zarnuji tersebut. Dalam bahasa pesantren hanya dimaknai "suwe mangsane" atau lama prosesnya tentu bukan sekadar waktu, akan tetapi bisa saja niat, kesungguhan hingga metode. Dari sinilah kita berkaca bagaimana menghasilkan ilmu tentunya bukan sekadar koleksi di mana kita mondok atau berpendidikan melainkan keberkahannya. Tidak banyak kitab seperti Ta'lim ini yang mengupas cara meraih ilmu dengan pendekatan yang holistik bahwa ilmu juga berelasi erat dengan kebersihan hati.

the woks institute l rumah peradaban 26/8/22

Komentar

  1. Saya mau memberikan sedikit masukan terkait penulisan. Kalau isi sih jempol 10.
    Penulisan Arab yang di Indonesia kan memakai garis miring. Dan mohon untuk lebih konsisten dalam memakai satu kata.. thuli atau tuli atau thuuli...
    Khualitas
    Atau kualitas??

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde