Langsung ke konten utama

Karnaval Desa Plosokandang 2022




Woks

Sudah 2 tahun lebih kita dijauhkan dari pandemi terutama tentang segala aktivitas sosial. Keadaan itulah yang justru setiap orang menyimpan kerinduan akan bisa mengikuti setiap kegiatan sosial seperti sedia kala. Ternyata benar saja di bulan Agustus kali ini orang-orang seperti balas dendam. Tidak hanya soal karnaval akan tetapi sampai majelisan semua tumpah ruah.

Ketika corona dianggap telah stabil bahkan hampir dinyatakan hilang orang-orang menyambutnya dengan gegap gempita. Terutama di momen peringatan 17 Agustus kita suasana menjadi hidup kembali. Hidup dipersatukan dengan segenap kegiatan salah satunya karnaval desa. Di desa Plosokandang acara karnaval atau pawai fashion show dilaksanakan pada 14 Agustus 2022 tepat di hari Pramuka. Orang-orang dari masing-masing rt/rw, dusun (Plosokandang, Manggisan, Kudusan, Srigading) sudah mempersiapkan sejak memasuki bulan Agustus. Mereka begitu antusias dalam menyemarakkan momentum satu tahunan ini.




Orang di sepanjang jalan, tiap malam selalu riuh dari latihan. Latihan mereka dari mulai menari reog kendhang, jalan kreasi, meneriakan yel-yel, hingga menghias kendaraan. Hingga puncaknya yaitu karnaval di mulai dari lapangan Plosowaluyo dan finish di perempatan dusun Manggisan. Seperti biasa sepanjang jalan kita bisa disaksikan betapa enerjiknya ibu-ibu berlenggak-lenggok meneriakan yel-yel dan gerakan jalan kreasinya, anak-anak menari dengan kostum adat jawanya, bapak-bapak dengan kostum Madura bahkan para kawula muda menunjukkan kreasinya. Kendaraan yang berisi sound sistem, becak hias, sepeda ria, hingga miniatur pesawat tempur, tank baja hingga tikus-tikusan juga ambil bagian dalam menyemarakkan momen ini.




Ada ribuan pasang mata yang antusias menyaksikan acara karnaval ini. Sepanjang jalan, setiap pojok, pertigaan semua padat oleh penonton. Hal itu juga membawa keberkahan bagi setiap tukang parkir dan pedagang baik penjual air minum, kacang godok, hingga mainan anak. Tak lupa kami dari tim ubras-ubres Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading juga ikut ambil bagian. Kami partisipasi dalam rangka memeriahkan sekaligus agar akrab dengan tetangga pondok. Walaupun busana dan make up kami sederhana seperti sarjana kere, busana ala Gus Samsulin, Pesulap putih alias Sunan Jogokali, mekanik gagal dengan gerobak dorong akan tetapi kami begitu semangat. Belum lagi sejak persiapan ketika ingin membeli atribut bendera kami sempat diwarnai insiden ditilang polisi karena tidak memakai helm.





Singkatnya pada karnaval kali ini dengan jumlah peserta 18 grup tersebut kami merasa puas. Kepuasan itu ditunjukkan dengan beragam ekspresi salah satunya kami tidak merasa malu dan justru bisa menampilkan ragam busana walaupun sederhana. Tidak hanya itu momen tahunan ini dalam rangka mempererat persatuan antar warga dari setiap dusun yang ada di desa Plosokandang. Maka dari itu laiknya pemerintah mengagas tema di 17an kali ini yaitu, "Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat". Semoga saja karnaval selalu dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan untuk terus berkreasi bukan justru berhura-hura tanpa arti.

the woks institute l rumah peradaban 15/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde