Langsung ke konten utama

Buah Ilmu Karena Amal




Woks

Kita kadang bertanya bagaimana ilmu yang bermanfaat atau ingin mendapat keberkahan ilmu. Padahal kunci di antara keduanya hanya satu yaitu mengamalkannya. Ibarat sebuah motto, "berilmu beramal" atau "sekali dayung lautan terlampaui". Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Atau jika ingin mendapat manfaat dan keberkahan ilmu maka mendayunglah alias beramalah.

Hujjatul Islam Imam Ghazali menyebutkan dalam Kitab Ayyuhal Walad bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Beliau mengibaratkan seperti pedang tajam milik ahli perang tapi tidak digunakan ketika diserang singa ganas. Atau bahkan mereka yang mengoleksi dan membaca seribu kitab sekalipun akan tetapi hanya disimpan saja dalam pikiran tak akan ada artinya. Jadi kebermanfaatan ilmu itu hanya karena diamalkan. Seperti halnya pohon, ilmu adalah buahnya dan kebermanfaatannya ketika sampai pada orang lain.

Ada salah satu syarat agar ilmu nampak manfaat dan berkahnya yaitu "ikhlas". Tidak hanya ilmu dalam hal ibadah atau apapun itu ikhlas merupakan kunci utama diterimanya amal. Percis seperti Kementerian agama memberikan ruh dalam mottonya yaitu, "ikhlas beramal". Tuhan akan memperkenankan segala amal seseorang karena ikhlasnya bukan banyaknya. Dalam konteks keseharian Tuhan lebih melirik mereka yang istiqamah amalnya walau sedikit daripada banyak tapi tidak kontinyu.

Ilmu dan amal memang satu kesatuan oleh karenanya Tuhan sangat senang pada mereka yang berilmu dan beramal sholeh. Dengan ilmu seseorang bisa selamat di dunia dan akhirat. Dengan ilmu pula seseorang bisa mencapai derajat wushul kepada Allah. Maka dari itu Abah kami menjelaskan agar ilmu tidak hanya sampai di otak harus disertai ilmu lainnya seperti halnya tasawuf. Ilmu yang menancap di dalam hati dan selalu berkeinginan menyinari sekelilingnya. Ilmu adalah cahaya yang akan selalu menyinari orang-orang gelap karena kebodohan. Maka dari itu satu ahli ilmu wafat seribu orang merasa susah. Ahli ilmu wafat adalah tangisan seisi alam semesta.

Maka dari itu lewat tulisan singkat ini mari kita berilmu sekaligus mengamalkannya. Karena hidup terlalu singkat jika tidak digunakan dengan hal-hal baik. Maka sudah sepantasnya kita yang tengah menimba ilmu bergegas, berniat untuk menggapai kebermanfaatan ilmu dengan mengamalkannya.

the woks institute l rumah peradaban 23/8/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde