Langsung ke konten utama

Jika Guru Tak Mengajar




Woks

Tugas seorang guru adalah mengajar alias menstransfer ilmunya kepada para siswa. Tugas itulah sangat mulia dan bagian dari jalan hidup demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi dalam kenyataannya tugas seorang guru tidaklah mudah. Jika sekadar memberikan pengetahuan tentu internet akan lebih canggih. Oleh karenanya yang membedakan guru dan internet adalah persoalan adab.

Kendala seorang guru dalam menyampaikan ilmu kepada siswanya sering ditemui. Lebih lagi jika berkaitan dengan kebutuhan dan kesibukan di luar mengajar. Guru dan mengajar merupakan faktor X akan keberhasilan siswanya, jika dalam konteks pesantren tentu kiai dan santrinya. Lantas jika guru tidak mengajar apa jaminan bagi siswa sedangkan di beberapa sekolah para orang tua membayar mahal untuk anaknya.

Umumnya guru yang tidak mengajar akan memberikan tugas kepada siswanya. Atau ada juga guru yang acuh terhadap siswanya padahal mengajar adalah kewajibannya. Berbeda dengan kisah berikut ini di mana sisi ruhaniah selalu diperhatikan. Misalnya dulu ketika KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas Jombang sering bolak-balik ke Jakarta untuk rapat Konstituante bersama Bung Karno. Beliau sering sekali meninggalkan santrinya dan tentunya tidak mengaji akan tetapi selama di Jakarta beliau masih memperhatikan santrinya salah satunya lewat ijazah "huwal habib" yang dibaca sebanyak mungkin. KH. Bisri Mustofa Rembang (ayah Gus Mus) pun demikian, beliau yang terkenal sebagai penulis produktif dan singa podium sering sekali meninggalkan santrinya. Akan tetapi dalam setiap ceramahnya di berbagai daerah itu Mbah Bisri sebelum naik podium selalu berdoa, "Ya Allah Gusti kulo nyuwun panjenengan gantos opo seng kulo lampahi kagem nyebaraken agamane panjenengan kalian kefahaman lan berkahipun kagem santri-santri kulo".

Kata Gus Mus, ayahnya itu tidak putus kontak walaupun sering meninggalkan santri dan tidak mengaji. Beliau selalu berdo'a kepada Allah, memohon digantikan pahala keberkahan dalam menerangkan agamaNya di majelis dakwah untuk santrinya yang ada di pondok. Alhasil dari apa yang dilakukan Mbah Bisri tersebut selalu membawa keberkahan bagi santrinya kendati jarang mengaji.

Dari cerita tersebut yaitu bahwa jembatan di antara siswa dan gurunya adalah do'a. Itulah bedanya sekolah formal dengan di pesantren. Bahwa di pesantren memang terkenal dengan metode tarbiyah artinya pendidikan itu hingga ke akarnya tidak hanya sisi dhohir melainkan sampai ke batin. Maka tidak salah jika ahli bijak mengatakan bahwa kejahatan seorang guru adalah ketika tidak mendo'akan murid-muridnya.

Lantas bagaimana dengan kita ketika berhalangan hadir dan tidak sempat menyampaikan ilmu kepada para siswa? tentu kita lebih tahu bagaimana menjadi guru yang berkarakter bagi para siswanya. Karena keteladanan adalah kunci utama dalam menanamkan akhlak kepada para siswa bukan sekadar ucapan.[]

the woks institute l rumah peradaban 12/8/22

Komentar

  1. Do'a adalah jembatan untuk menghubungkan kepentingan hubungan horisontal dan vertikal kepada yang maha pengabul doa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde