Langsung ke konten utama

Sepakbola Indah




Woks

Saya mungkin atau memang faktanya bukanlah pecinta bola sejati. Hampir-hampir saya belum mencapai ke relung hati apa itu sepakbola dan dunianya. Yang jelas saya adalah penikmat sepakbola yang sederhana. Saya menikmati bola tidak seperti mayoritas orang sampai di ujung fanatik. Mereka maniak sampai membeli jersey pemain idola, membeli bola, memburu tanda tangan, nonton di tribun, membentang spanduk bendera, hingga teriak berani mati sana-sini.

Saya hanya penikmat bola sebatas permainan ini unik dari olahraga lainnya. Pasalnya sepakbola adalah permainan olahraga terpopuler sejagat. Dari anak kecil hingga dewasa semua orang suka sepakbola bahkan sampai para perempuan. Ada satu hal yang ingin saya garis bawahi dalam catatan kecil ini yaitu soal supporter sepakbola. Selain masalah rivalitas dan anarkisme yang tak kalah menariknya adalah soal kedewasaan. Terutama supporter di Indonesia belum dapat dewasa sepenuhnya. Mereka masih sering tersulut api nafsu emosional akibat dendam membara tak berkesudahan. Salah satu faktornya adalah ketika tim kesayangan kalah dalam pertandingan.

Lucunya lagi di Indonesia selain bergesekan dengan supporter lawan mereka juga sering beradu pandang dengan pemilik club dan pelatih. Alasannya sederhana mereka menuntut agar timnya bisa keluar dari zona maut, zona degradasi. Sepengetahuan saya main bola itu tidak seinstan membuat mie kuah, bola itu bundar dan perlu proses panjang. Para pelatih dan asistennya pun berpikir keras bagaimana tim mereka meraih 3 poin baik dalam pertandingan "home" maupun "away". Akan tetapi fenomena saat ini bagai bola salju tidak hanya di daratan Eropa di Indonesia pun terkena imbasnya. Banyak para supporter yang menuntut agar pelatih yang tidak becus menangani club untuk segera mundur dari kursi kepelatihan. Apakah sesanksi itu para pelatih kita baik lokal maupun luar?

Seharusnya kepada setiap supporter segera membuka mata dan mendewasakan diri. Mereka harus belajar pada sejarah bahwa sepakbola itu bukan soal trofi, keuntungan atau prestis lainnya melainkan sepakbola indah. Kata Jurgen Klopp bahwa ada yang lebih tinggi dari sekadar sepakbola yaitu menghamba pada Tuhan. Kita juga seharusnya belajar kepada the Gunners terutama ketika arsitek mereka di bawah coach Arsene Wenger.

Arsene Wenger yang berjuluk Le Professeur itu telah banyak mengukir sejarah bersama para pemainnya. Bagi supporter Arsenal misalnya mereka termasuk yang paling sabar, karena Wenger merupakan pelatih dengan masa jabatan paling lama yaitu sejak 1996-2018. Walaupun pernah 7 musim Meriam London itu tanpa gelar tapi mereka tetap setia pada pelatihannya. Mereka yakin bahwa sepakbola adalah soal waktu dan kematangan. Betapapun begitu pria asal Prancis itu akhirnya bisa mengorbitkan para the young guns menjadi pemain bagus kelas dunia. Pemain seperti Thiery Henry, Andreas Arsavin, Samier Nasri, Cesc Fabregas, Jack Wilshere dll pernah mendapat sentuhan dingin Wenger. Wenger sendiri tidak bisa dibilang gagal dalam melatih hal itu terbukti dari beberapa trofi yang ia peroleh yaitu 3 kali piala liga Inggris, 7 kali piala FA dan 7 kali Community Shield.

Masihkah supporter kita mendewakan skor, kemenangan dan rasa tinggi hati. Seharusnya kita belajar pada Arsenal atau mungkin Persebaya jika di Indonesia. Bisa dibayangkan mereka selalu mengatakan bahwa," kalah tetap didukung menang akan ku sanjung". Bahkan club berjuluk si Bajul Ijo itu hampir mirip dengan Arsenal yaitu sering melahirkan talenta berbakat salah satunya Andik Vermansyah dan Marselino. Jadi sudahkan kita berkaca diri tentang arti sepakbola yang sesungguhnya.

Sepakbola bukan sesuatu yang dipolitisasi atau menjadi gudang mafia keuntungan. Sepakbola adalah sepakbola atau si kulit bundar, menggelinding menemukan rona permainan. Keindahan dan akselerasi yang baik barangkali adalah seni tertinggi dalam lapangan. Sepakbola adalah dakwah mengajarkan arti kebersamaan. Sepakbola adalah jalan hidup barangkali demikian ungkap para pesohor. Maka dari itu menang kalah adalah hal biasa. Seharusnya kita memang perlu memandang diri sendiri bahwa sepakbola adalah seni dan olahraga tak bertepi. "Victoria Concordia Cresit".

the woks institute l rumah peradaban 18/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde