Langsung ke konten utama

Catatan Haul Pondok PETA 2022




Woks

Sudah 2 tahun lebih bahkan di tahun 2022 ini Haul Pondok PETA masih tetap diselenggarakan virtual dari rumah. Barangkali pertimbangan panitia adalah karena pandemi masih ada dan mereka berposisi di tengah kota, termasuk ingin menghormati pemerintah. Jika segala kendala itu tidak ada rasanya akan berbeda. Pasti segala macam atribut, umbul-umbul telah berjajar rapi serta ribuan jama'ah sudah memadati sepanjang jalan aloon-aloon Tulungagung. Walaupun demikian tentu tidak mengurangi kecintaan jama'ah untuk hadir dalam majelis mulia itu.

Majelis haul Hadratus Syeikh KH. Mustaqim bin Husein ke-53, Ibu Nyai Hj. Sa'diyah binti H. Rais ke-35 dan Hadratus Syeikh KH. Abdul Djalil Mustaqim ke-18 tersebut tentu selalu dirindukan oleh semua jama'ah. Entah betapa rindunya mereka akan tetapi kepatuhan pada guru mursyid tentu lebih dari apapun. Kebetulan saya sempat mengikuti acara haul ini walaupun dalam streaming yang salah satu rangkaiannya diisi dengan khotmil Qur'an. Beberapa hal yang saya dapatkan dalam peringatan haul yang menyuguhkan tema, "Mengasah Kepekaan Nurani dengan Kisah Sehari-hari" yaitu :

Saya selalu terkesan dan menarik di setiap haul PETA pasti menyuguhkan tema. Kebetulan tema kali ini begitu menghentakkan jiwa, betapa tidak selama ini kita memang belum peka lebih lagi persoalan nurani. Persoalan fisik yang nampak pun kita kadang masih lalai apabila masalah nurani yang tersembunyi. Oleh karena itu memang perlu mengasah nurani tersebut bukan dari hal-hal yang jauh lagi memberatkan melainkan cukup dengan kisah sehari-hari. Kisah itulah barangkali bisa mengoyak hati kita agar mudah tersentuh sekaligus tergugah menuju kepada kebaikan.

Selanjutnya dalam manaqib Syeikh Mustaqim bin Husein diceritakan oleh KH. Purnawan Bukhori bahwa beliau adalah sosok yang luar biasa. Beliau adalah sosok yang khumul dan memang tidak ingin tenar padahal muridnya tersebar di mana-mana. Ibu Nyai Hj. Siti Mahfiyah putri bungsu Mbah Mustaqim pernah mengisahkan bahwa KH. Hamid Pasuruan mengambil suluk Syadziliyah-nya di sini. Pada saat itu tirakatnya beliau selalu makan umbi-umbian dan sangat sederhana. Syeikh Mustaqim juga merupakan sosok pendidik yang ikhlas bahkan diakui oleh sahabatnya sekaligus guru beliau yaitu Syeikh Ajengan Chudori bin Hasan Malangbong Garut. Kata Syeikh Chudori, "Abdul Djalil, ayahmu itu (Syeikh Mustaqim) kalau soal ilmu hikmah itu kalah denganku. Tapi semua ilmu hikmahku kalah oleh satu hal dari ayahmu yaitu, keikhlasannya". Tak lupa pula beliau berpesan untuk rajin-rajin memotong kuku, apa maknanya? yaitu rajin memotong ke AKUan, hartaKu, anakKu, jabatanKu, dan lainya.

Selanjutnya manaqib Syeikh Abdul Djalil Mustaqim, seorang mursyid yang kamil mutakamil. Beliau lahir di Tulungagung pada 1942 tidak diketahui berapa tanggal dan bulanya. Beliau dididik oleh kedua orangtuanya dengan sangat keras hingga akhirnya melanjutkan sekolah tidak tamat hanya sampai kelas 2 SMP. Setelah itu menimba ilmu di Pondok Ploso kepada KH. Djazuli Utsman selama 2 tahun, lalu berlanjut ke Pondok Mojosari asuhan KH. Zainuddin bahkan ke Malangbong.

Beliau adalah sosok yang mirip dengan ayahnya yaitu Syeikh Mustaqim yang suka khumul alias tidak ingin masuk dalam hingar bingar ketenaran. Sosok yang sangat arif dan bijak tentunya dalam membimbing murid-muridnya. Beliau termasuk sosok nan alim dan bersahaja. KH. Purnawan Bukhori suatu ketika ndereke beliau ke Jakarta dan di sanalah Kiai Pur mendengar ceria beliau yang tak berkesudahan hingga akhirnya menjadi sebuah buku berjudul Sang Pendekar Agung dan Jejak-jejak Mbah Djalil.

Kiai Pur juga bercerita suatu saat sekitar dua minggu sebelum wafatnya dalam sebuah majelis malam Jum'at Kliwon beliau dawuh, "lek dungo dudu krono perintah Allah aku ra bakal dungo". Kata Mbah Yai Djalil jika doa tidak diperintahkan maka beliau tidak akan berdoa. Perkataan tersebut percis seperti aforis pada Kitab Hikam Ibnu Athoillah Syakandary, "Apa gunanya mengulang do'a pada Dzat yang maha mendengar". Kata Kiai Pur, Mbah Yai Djalil hanya ingin mengajarkan pada muridnya bahwa bekerjalah dan suguhkanlah yang terbaik barulah meminta. Jadi Mbah Yai Djalil itu sosok pekerja keras memberi terlebih dahulu baru meminta, jika dirumuskan, "kerja maksimal meminta minimal". Mbah Yai Djalil memang luar biasa sejak mudanya, salah satunya ketika beliau di Nganjuk bersama KH. Imam Muslim Trenggalek yaitu dari Mojosari ke Sedudo tirakat naik sepeda tiap malam sambil dzikiran.

KH. Mimbar Mashuri dari Lumajang dalam mauidhoh hasanahnya menjelaskan bahwa saat ini banyak orang yang mengharam-haramkan peringatan haul. Padahal dalilnya sudah sangat jelas yaitu ketika Nabi Muhammad membolehkan ziarah kubur karena alasan mengingat mati. Nabi Muhammad juga sering berziarah ke pemakaman Syuhada Uhud dan memberikan salam.

Beliau juga memberi pesan kepada kita untuk berlaku sabar serta istiqomah lebih lagi ikhlas seperti yang telah dicontohkan oleh para pendahulu. Sebagai santri tentu terus mengamalkan apa yang telah ditetapkan oleh guru mursyid. Beliau juga memberikan refleksi bahwa orang awam itu akan mengejar syurga sedangkan kaum arifin surga bukan tujuan utama, melainkan keridhoan Allah. Atau dalam hal ini kenikmatan tertinggi adalah ketika seorang hamba mampu berdialog langsung dengan Tuhannya. Semoga kita bisa menjadi muhibbin sejati dan mampu merealisasikan cita-cita guru mursyid sebagai seorang abdullah.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde