Langsung ke konten utama

Pidato Anak Tentang Cinta Tanah Air




Woks


اسلام عليكم ورحمه الله وبركاته

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ


Hadirin-hadirat yang berbahagia, perkenalkan nama saya.... dari SD Islam Al Azhaar Tulungagung.

Pada kesempatan kali ini izinkanlah saya menyampaikan pidato tentang cinta tanah air. Pidato kali ini saya persembahkan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-77.

Alhamdulillahirabbil alamiin, puja puji syukur senantiasa kita persembahkan untuk Allah swt Tuhan semesta alam yang telah memberikan banyak nikmatnya kepada kita semua tanpa kurang suatu apapun. Semua berkah inayah dan hidayahnya.

Shalawat teriring salam semoga Allah swt senantiasa melimpahkan kepada junjungan nabi kita, imam kita, idola kita, Nabi Muhammad saw, para keluarga, sahabat dan kita selaku umatnya senantiasa setia terhadap ajaranya hingga di yaumil akhir nanti. Amiin ya rabbal alamiin.

Bapak, ibu, dewan juri dan hadirin sekalian yang saya hormati. Hari ini tidak terasa negara kita sudah berusia 77 tahun. Usia yang tak lagi muda, tentunya akan bagaimana agar di usia 1 abad nanti cita-cita luhur dapat tercapai. Salah satu hal untuk menyongsong 1 abad tersebut adalah soal komitmen kebangsaan dan cinta tanah air.

Tahukan kamu apa itu cinta tanah air dan bagaimana melakukannya. Cinta tanah air itu bukan tanah dan air lalu dicampur melainkan komitmen untuk terus peduli pada negeri sendiri. Cinta tanah air dimulai dari hal-hal yang kecil hingga besar. Hal-hal kecil yang dapat kita lakukan adalah dengan terus belajar, tidak mencemari lingkungan, saling menghormati, memberikan prestasi, aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, hingga mempelajari dan melestarikan tradisi budaya. Sedangkan yang terbesar adalah pengorbanan jiwa dan raga seperti halnya dulu di jaman merebut kemerdekaan. Darah dan nyawa dikorbankan demi agama, bangsa negara.

Tentu kita ingat bahwa pengorbanan cinta tanah air yang dilakukan para pahlawan sudah di ujung komitmen. Artinya mereka sudah bertaruh nyawa hanya untuk cita-cita kemerdekaan. Misalnya ketika peristiwa 10 November 1945 di mana usia Indonesia baru 3 bulan pasca kemerdekaannya harus menerima kenyataan bahwa kita diserang oleh sekutu yang dipimpin NICA. Akhirnya dalam sejarah pertempuran di Surabaya itu dikenang sebagai hari pahlawan karena dasar mempertahankan kedaulatan dari rong-rongan sekutu.

Hal itu pula tidak lepas dari fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari bahwa dalam radius 1 KM semua orang harus melawan semampunya. Hal itu juga merupakan bagian dari diktum خبّ الوطن من الايمان atau cinta tanah air merupakan sebagian dari iman. Tentu kaidah fikih ini sangat berani dan begitu populer di telinga kita. Oleh karenanya keamanan tanah air lebih penting daripada sekadar merebutkan syahwat politik.

Hadirin hadirot hafidzokumullah.

Maka dari itu hadirin marilah kita sebagai anak bangsa, baik itu kalangan santri untuk terus merawat kebhinekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Santri memiliki kesejarahan yang tak terpisahkan dari negara. Maka dari itu tugas kita adalah mencintai negara dengan sepenuh hati. Kata Buya Syafi'i Ma'arif cintailah negeri mu walaupun di dalamnya sedang ruwet. Karena mencintai negeri sama seperti dawuh Nabi, kalau bukan karena kaum mu mengusirku sungguh aku selalu merindukan tempat kelahiran ku (Mekah).

Hadirin wal hadirot hafidzokumullah.

Demikianlah pidato yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua. Saya akhiri....

Minum di atas cawan
Dipatuk burung cendrawasih
Cukuplah sekian
dan saya ucapkan terima kasih.

وسلام عليكم ورحمه الله وبركاته

the woks institute l rumah peradaban 17/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde