Langsung ke konten utama

Menjadi Bagian dari Penelitian Pesantren




Woks

Alhamdulillah saya bisa ikut serta menjadi peneliti dengan situs utamanya di pesantren. Kata seorang dosen, "sampean memang cocok tak pasang di pesantren karena tahu medannya" dan saya pun tentu merasa senang. Selain melatih mencari data di lapangan, saya juga tertantang untuk bergerak jauh, mencari relasi hingga sowan ke pesantren seorang diri. Tentu penelitian di pesantren kita akan mendapat berkah yang tidak ditemukan di tempat lain.

Saya masih ingat penelitian pertama yaitu di PP Himmatus Salamah Srigading Tulungagung. Di sini penelitian skripsi saya dimulai 2018 awal yaitu tentang fenomena skabies atau gudik (gatal-gatal kulit) pada santri. Setelah itu sekitar tahun 2018 akhir saya diminta salah seorang dosen untuk terjun ke lapangan tepatnya di PP Al Falah Ploso, temanya masih sama yaitu kesehatan. Di Ploso ini ternyata sesuai dengan guide wawancara bahwa pondok ini termasuk kategori pesantren yang bersih. Hal itu dibuktikan dengan berbagai penghargaan dan saya melihat langsung kondisi bangunan serta budaya di sana.




Tahun berganti tahun pengalaman meneliti di pesantren pun menjadi juru kemudi. Hingga akhirnya di tahun 2022 ini saya harus terlibat lagi dalam penelitian serupa. Kali ini temanya tentang Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK) di pesantren. Kebetulan kami berjumlah 2 orang diterjunkan ke beberapa pesantren. Khusus teman saya Mba Ully berada di pesantren Blitar yaitu PP Madrasah as Sunniyah an Nabawiyah, PP Al Falah Jeblog Talun, PP Bustanul Muta'allimin dan PP Al Muhsin. Sedangkan saya yaitu PP Lirboyo Kediri, PP Al Hikmah Mlathen Tulungagung dan PP Bumi Hidayah at Taqwa Pogalan Trenggalek. Khusus untuk situs yang saya teliti awalnya berganti yaitu mulai dari PP Modern Darul Hikmah Tawangsari Tulungagung dan PP Al Anwar Durenan Trenggalek. Kata dosen kami pergantian pada situs penelitian sangat mungkin terjadi seperti halnya di bagian akhir saya tidak jadi meneliti Pondok Lirboyo karena kesulitan akses akhirnya diganti dengan PPHM Ngunut.




Selama proses mencari data di lapangan ini tentu saya menemukan kebingungan. Selain masalah kesibukan saya sendiri tidak punya uang untuk membeli sesuatu yang akan dibawa ke pondok. Padahal transport sebenarnya sudah siap untuk di transfer tapi saya menolaknya. Akhirnya saya pun berjalan dengan seadanya dan semanpunya. Maklum saja di pondok itu ada tradisi sowan untuk meminta izin dalam perihal apapun termasuk penelitian dan pastinya saya sudah dibekali surat tugas sejak awal. Hal-hal yang saya temukan di pesantren seperti menunggu gus atau abah rawuh pasti sangat penat karena lama hal itu tentu sudah biasa. Selain itu kesasar dalam mencari alamat pondok juga saya temui. Melihat keadaan pondok yang asri dan khas warisan masa lalu juga saya temukan. Tak lupa saya mengambil foto untuk mengisi lampiran dan dokumentasi.




Catatan sederhana yang saya temukan seputar penelitian BLKK di pesantren adalah: program BLKK yang digulirkan pemerintah ternyata masih belum maksimal. Rerata banyak pondok yang mengambil program komputer atau desain karena program BLKK ini dimulai sejak awal pandemi. Salah satu alasan mengapa mengambil program komputer karena simple-nya. Selanjutnya rerata BLKK kesulitan menjalankan programnya karena kendala dana dan fasilitator. Pesantren masih belum bisa mengembangkan teknik kewirausahaan karena masih mengadopsi pikiran lama, tradisional ala pesantren. Maka dari itu salah satu teori dari Kurt Lewin adalah unfreezing, movement dan freezing membantu melihat pola-pola organisasi dan peta pemikiran di pesantren.

Akhirnya dari serangkaian kesibukan yang ada saya pun dapat menyelesaikan tugas penelitian tersebut. Dari aktivitas itu barangkali selain pengalaman saya juga mendapat banyak hal terutama dari para partner dan peneliti lain. Selain itu saya juga dapat mengambil ilmu dari narasumber yang diwawancarai. Semoga saja hal ini menjadi batu loncatan untuk proyek selanjutnya haha.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde