Langsung ke konten utama

Bioskop dan Cerita-cerita Tentangnya




Woks

Barangkali ini adalah momen pertamaku mampir ke bioskop. Momen yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya kecuali sesekali tergambar dari tayangan di televisi. Bioskop bagi ku merupakan tempat yang asing walaupun beberapa kali aku masih hafal istilah dalam bahasa Inggris yaitu "cinema atau theater". Tempat orang nonton film tersebut pertama ku ingat ketika membaca koran Jawa Pos Radar Cirebon di mana di sana tertulis tentang tayangan film pertama kali digelar di Opera House Australia pada 1912.

Kali ini aku diajak seorang teman untuk nonton ke bioskop Golden yang ada di pusat kota Tulungagung. Di sana kami akan nonton film Pengabdi Setan 2 Communion besutan Sutradara Joko Anwar. Sungguh di luar dugaan ku ternyata peminat nonton film tersebut sangatlah banyak. Bahkan aku sempat pening dan sedikit mual melihat antrian orang berjubel di ruang tunggu. Inilah barangkali momen yang tidak ingin aku temukan. Jujur saja aku memang tidak terbiasa berjubel dalam kemelut seperti itu apalagi bertahan di antara pemuda milenial dengan segala atribut modernnya. Seolah aku teras asing dan sepi, percis seperti Rendra ungkapkan berpuluh tahun silam dalam sajak seonggok jagungnya.

Dari keadaan itulah aku sedikit terusik dan kurang nyaman karena pasti banyak orang pasangan muda mudi yang terlibat pacaran. Padahal dulu Syeikh KH. Ahmad Asrori Al Ishaqy sering nonton film Coboy hanya untuk memuaskan diri sementara. Kata beliau nonton film atau nglencer itu boleh yang penting dalam rangka bergegas, sesegera mungkin untuk mendekat kembali kepada Allah. Jadi jangan sampai dzikir atau ibadah kepada Allah menjadi problem. Maka dari itu tak salah jika beliau pada akhirnya dapat mewadahi orang agar nyaman berdzikir dalam majelis Al Khidmah.

Bicara tentang bioskop dan film horor mengapa banyak orang rela antri untuk nonton film genre ini. Padahal jika mau berpikir ulang kita membayar hanya untuk ditakut-takuti. Tapi nyatanya tidak sesederhana itu, bagi para penikmat film tentu sensasi menonton di bioskop akan berbeda cerita apalagi ditemani dengan seseorang yang spesial. Menonton film menjadi lengkap karena ada daya dukung berupa efek cahaya lampu, sound, penataan tempat duduk, layar lebar, snack, hingga kebersamaan.

Saat menonton film suasana di dalam studio menjadi tegang dan cepat berubah menjadi tawa. Jika genre film horor tentu aroma mistik begitu terasa karena seluruh studio semua lampu dimatikan. Keadaan yang mendukung itulah pada akhirnya orang rela menunggu lama demi film kesukaan. Tidak hanya itu rasa penasaran karena film baru menambah greget penonton untuk segera duduk manis di depan layar bioskop.

Orang memang mudah nyaman dengan apa yang mereka sukai. Lantas apakah tidak bertanya di mana letak mereka yang benar-benar tidak menikmati film. Entahlah, khusus bagi mereka yang tidak memiliki hobi nonton tentu akan mengalihkan dunia itu misalnya ke bacaan, chatingan, makan atau tidur. Persoalan passion memang tidak bisa diganggu gugat karena setiap orang memiliki otonominya sendiri. Persoalan nonton film misalnya tidak bisa diatur oleh siapapun. Karena ini berkaitan dengan hak dan kewajiban. Bahkan bisa juga berkaitan dengan gaya hidup.

Rerata orang nonton ke bioskop didominasi oleh kalangan pemuda. Apalagi film genre horor tentu menambah kesan menarik bagi mereka yang dihantui rasa penasaran. Jarang sekali kita jumpai orang tua yang hobi nonton film kecuali mereka yang masih seperti anak remaja. Akhirnya dari momen nonton bioskop pertama ini aku belajar banyak hal tentang bagaimana orang mencari kepuasan batin walaupun sesaat.

Kepuasan batin itulah barangkali merupakan energi spiritual yang didapat selain dari gerakan keagamaan. Dengan begitulah aku merasakan bahwa salah satu dari virus modern 4F sangat mudah merasuki kaum muda tentunya lewat film. Sebagai masyarakat yang minim membaca tentu film berhasil mengkonstruk sebagian pikiran penontonnya. Mereka akan mewarisi apa yang disebut sebagai konstruk media digital. Dalam hal ini para sinematografi memang pintar dalam melihat pasar penontonnya. Di Indonesia terbukti genre film horor dan percintaan lebih laku keras di pasaran dibandingkan dengan cerita laga dan inspiratif.

Di luar negeri tentu film-film bergenre laga, fantasi dan pemecahan kode-kode rahasia menjadi film yang selalu masuk box office. Luar negeri memang selalu punya cara dalam mengoyak pemikiran banyak orang karena di sana mereka silipkan visi misi dan bukan sekadar pangsa pasar. Misalnya film yang selalu kita ingat adalah Rambo, yaitu sebuah film untuk mengatakan bahwa Amerika tidak pernah kalah dari perang Pasifik melawan Vietnam, padahal faktanya kalah. Di sanalah akhirnya Rambo menjadi personifikasi alias tokoh pahlawan bagi pangkalan militer Amerika. Satu lagi misalnya, Kapten Tsubasa dihadirkan oleh Jepang dalam rangka menyongsong Piala Dunia 2002 di negaranya. Hal itu juga berarti bahwa mereka adalah sosok ksatria samurai yang pantang menyerah. Maka dari itu banyak sosok yang dimunculkan lewat film bangsa Jepang misalnya Naruto, Sakurai X, One Piece, Ninja Rider dan lainya. Semua genre film Jepang hanya ingin mengatakan bahwa bangsa mereka tidak pernah kalah dari siapapun walaupun pernah mengalami tragedi pilu bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Bangsa Cina pun tak mau kalah yaitu dengan menghadirkan Ip Man sebagai pendekar Whing Chun pilih tanding. Padahal film itu dihadirkan dalam rangka kontranarasi karena bangsa mereka pernah dijajah oleh Jepang salah satunya lewat adegan laga antara karate vs whing chun.

Demikianlah catatan sederhana mengenai perjalanan nonton bioskop pertama. Kita memang perlu membiasakan diri terhadap sesuatu yang bukan menjadi bagian dari passion. Maka dari itu kita hanya perlu belajar dari semua sekalipun itu hanya sebatas menghormati.

the woks institute l rumah peradaban 6/8/22



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde