Langsung ke konten utama

PBAK FUAD 2022: Bukan Ajang Cari Kontroversi



Woks

Membincang PBAK atau gelaran ospek pada mahasiswa baru (Maba) selalu saja renyah untuk dibahas. Saya yang sudah lulus 2 tahun lalu pun tak mau kalah untuk mengulas PBAK 2022 ini walaupun sebatas narasi sederhana. Tentu yang saya lirik adalah PBAK FUAD. Karena di PBAK FUAD ini bagaimana pun juga saya pernah terlibat di dalamnya walaupun hanya sebagai P/IP, tukang gulung kabel hingga tim band kepret.

Salah satu yang selalu khas di PBAK FUAD setidaknya ada dua ciri: yaitu kekompakan dan kontroversial. Kekompakan arek FUAD tentu sangat berbeda dengan fakultas lain. Saya juga tidak bisa menerka bagaimana corak organisasi di fakultas lain dalam menyiapkan perhelatan di saat menyambut mahasiswa baru ini. Kekompakan arek FUAD menjadi khas sebenarnya sudah sejak lama karena embrio minoritas. Karena sejak dulu terbiasa minoritas maka arek FUAD secara otomatis mengeluarkan daya kreatifnya. Mereka terbiasa, terlatih mandiri dan tentunya kritis. Ideologi kekeluargaan menjadi marwah yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh beberapa kelompok mahasiswa. Walaupun kini fakta membuktikan mereka menyebar ke dalam 12 jurusan akan tetapi kekompakan masih belum tergoyahkan.

Ciri selanjutnya adalah kontroversial. Ciri yang kedua ini pun menegaskan sejak lama yaitu dari para pendahulunya misalnya dari UIN Sunan Ampel Surabaya lewat gerakan, "Tuhan telah membusuk". Dalam perhelatan PBAK fakultas, arek FUAD menolak meanstream artinya mereka selalu ingin menyuguhkan hal yang berbeda. Perbedaan itu terasa dari sajian tema, diskusi, panelis, kajian, film, replika, pergerakan, teatrikal hingga hiburan. Sejak dulu FUAD memang terkenal menonjol soal diskusi dan jauh dari kesan glamor apalagi hiburan. Semua selalu berkaitan dengan pola pemikiran dan kaya akan wacana.

Salah satu yang selalu dikenang hingga kini yaitu soal gagasan tema. Dalam setiap PBAK tema-tema yang diusung selalu menarik bahkan cenderung kontroversi. Teman-teman panitia memang sengaja menggodok tema sejak jauh-jauh hari dengan tujuan agar tema tersebut matang dan relevan kontekstual. Tema-tema tersebut di antaranya bersinggungan dengan pluralisme, humanisme, ekologi, politik identitas, hingga digitalisasi media. Beberapa tema utuh yang saya ingat di antaranya "Rekonstruksi nalar menuju peradaban kosmopolit", tema tersebut tercetus karena mayoritas panitia sedang gandrung dengan pemikiran besar Gus Dur.

Selanjutnya ada tema "Memperkokoh tali persaudaraan dan identitas kemanusiaan di KBM FUAD". Tema tersebut lahir karena mayoritas panitia merasa gundah bahwa kekeluargaan di FUAD lambat laun semakin luntur salah satunya karena hadirnya 9 jurusan baru. Maka tidak salah jika tema tersebut datang untuk mengingat kembali betapa kerukunan dan kekeluargaan adalah aset utama fakultas berjuluk kemanusiaan tersebut.

Ada lagi yaitu tema, "Bumi Tuhan telah mati manusia membunuhnya". Tema itu tercetus karena di tahun-tahun tersebut topik mengenai ekologi sangatlah seksi untuk dikupas. Ekologi dalam isu global terutama di Indonesia tengah menghadapi ancaman serius berupa pembangunan dan iklim tak menentu. Akibatnya kerusakan lingkungan menjadi tumbal atas ide dasar pembangunan, lebih lagi usaha kepentingan dari para oligarki terus menggurita. Bahkan tak tanggung-tanggung panitia tidak hanya menyiapkan aksi membuat replika manusia menyangga bola dunia, mereka juga melakukan aksi nyata berupa penanaman pohon dan aksi donor buku bacaan. Setelahnya sekitar 2 tahun yaitu 2020-2021 saya tidak mengikuti gelaran PBAK yang memang dihelat secara VDTT alias online karena diterpa pandemi.

Di tahun 2022, PBAK kembali digelar dengan offline yaitu mengusung tema, "Kesadaran Rapuh, Mahasiswa Runtuh". Menurut panitia yang pernah diskusi dengan saya tema tersebut sangat relevan di mana Maba saat ini tengah mengalami transisi pasca pandemi. Apakah kesadaran mereka tentang kemanusiaan, agama, politik, budaya, keilmuan, atau apapun itu sudah pulih atau justru trauma karena lama tidak berpikir. Selama pandemi barangkali kita juga sedikit cemas karena lost learning terjadi di mana-mana termasuk di tubuh mahasiswa. Oleh karenanya tema tentang rekonstruksi kesadaran barangkali sangat penting terutama di tengah arus digitalisasi nan masif.

Sebenarnya yang membuat kontroversi di setiap gelaran PBAK bukan dari tema, lebih tepatnya pada tajuk yang menjadikannya tagline, misalnya panitia pernah membuat, "Innalilahi wa innailaihi rajiuun buat kemanusiaan kita". Kata tajuk itulah yang justru mengundang tanya sekaligus membuat siapa saja merinding membacanya. Padahal jika dicermati secara mendalam kita tengah digugah seberapa hidupkah sisi kemanusiaan di tengah rasa tega yang kuat. Maka dari itu bagi mereka yang mengartikan secara tekstual tulisan tersebut hanya dimaknai sebagai kalimat istirja biasa.

Di tahun 2022 tajuk yang membuatnya kontroversi hingga ada tragedi penurunan spanduk oleh pihak keamanan yaitu berbunyi, "Selamat Datang Nabi-nabi Baru". Kalimat tersebut jika dibaca secara leterlek maka terkesan melecehkan akan tetapi jika dihayati sungguh memiliki makna yang dalam. Entah apakah ada upaya internalisasi makna dari panitia soal kalimat tersebut atau tidak, saya tidak tahu juga. Saya akan menduga tidak ada dan memang tidak perlu juga untuk mengartikannya.

Bagi saya ucapan selamat datang bagi nabi-nabi baru tak lain adalah upaya mahasiswa sebagai agen dan pengemban risalah kenabian dari Tuhan untuk memakmurkan bumi. Jadi sebenarnya para nabi yang ditutup oleh Nabi Muhammad SAW pada syariatnya telah habis akan tetapi secara hakikat ajaran dan risalahnya terus menitis pada umatnya. Hal itu seperti ibarat Abu Jahal yang berarti bapaknya kebodohan. Jika diartikan maknawi semata Abu Jahal padahal tidak bodoh, ia pintar. Hanya saja kepintarannya justru menginjak-injak kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, maka pantaslah ia digelari bapaknya orang bodoh. Abu Jahal secara personal mungkin telah mati akan tetapi sifatnya masih menitis ke tengah-tengah kita umatnya, kebodohan di mana-mana.

Di sinilah saya rasa kita baru menemukan titik temu bahwa tema tersebut sebenarnya tengah menghentak sejatinya manusia memiliki tugas sebagai khalifah fil ardy. Hal itu juga senada dengan tema PBAK Universitas tahun ini yaitu, "Mahasiswa berperan membangun peradaban gemilang" yang amunisi utamanya adalah "kesadaran". Disadari atau tidak sebenarnya tulisan ini juga tengah merayap ke tengah untuk menjelaskan semua keabsurd-an ini. Padahal jika dipikir-pikir yang seharusnya selalu kontroversi adalah kaum sufi dengan corak falsafinya atau para filsuf dengan berpikir kritisnya.

Sekadar refleksi: seharusnya setiap fakultas memang memerlukan daya kreatif dan kritis untuk mengawal tema. Tema diharapkan menjadi gerak langkah nyata untuk sama-sama mewujudkanya. Setiap fakultas harus membawa isu tertentu kepermukaan, misalnya fakultas ekonomi dengan kajian gender, fakultas hukum dengan kajian fikih lingkungan, fakultas pendidikan dengan kajian ramah anak dan tentunya FUAD dengan kajian pemikiran, keislaman dan kebudayaan. Dengan begitu di setiap perayaan PBAK ada sesuatu yang menjadi bahan diskusi sekaligus refleksi menawarkan gagasan segar.

Satu hal lagi yaitu dalam hal tema ataupun isian acara jangan sekadar berprinsip kontroversi apalagi mencari viral. Jika hal-hal itu dilakukan tanpa kesadaran utuh maka gelaran PBAK hanya sekadar tontonan dan hal ini sebenarnya sangat dihindari. Seharusnya ke depannya panitia selalu mengedepankan asas berpikir kritis analitis agar kegiatan menyambut Maba menjadi bermakna. Jadi selalu ada value yang disemai dalam setiap agenda kegiatannya. Yang terpenting lagi yaitu mengembalikan kepada akar ilmu bahwa semua bermuara dari keilmuan serta argumen yang metodologis bukan sekadar emosi sesaat apalagi numpang keren tanpa dasar kuat. Tapi, saya harus katakan selamat untuk PBAK FUAD tahun 2022 ini. []

the woks institute l rumah peradaban 22/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde