Langsung ke konten utama

Biblioholic


Woks

Sejak kapan aku suka buku bahkan aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu doa apa yang dipanjatkan orang tuaku hingga aku dikutuk Tuhan menjadi pecinta buku. Atau bagaimana cara orang tuaku mendidik agar anaknya suka baca buku. Aku sendiri hanya terdiam mematung mereka memang tau caranya agar tau selain: membaca.

Aku hanya ingat saat bapak pertama kali memberikan klipingan buletin lawas, koran lama dan beberapa buku kecil serta majalah. Beliau tidak memberikan instruksi apapun kecuali ini ada buku. Sambil menggeletakanya di hadapan mejaku. Lalu saat itulah aku mulai berkenalan membaca walaupun saat ini aku tidak mengklaim sebagai kutu buku. Aku sendiri sebenarnya masih payah soal bacaan apalagi bacaan berbahasa asing. Yang jelas aku hanya ingin ikut seperti para pendahulu ku P Swantoro misalnya yang berideologi "berawal buku berakhir buku".

Menjadi pecinta buku memang menyenangkan apalagi sampai mengetahui isi kandungan buku tersebut (biblioholism). Jangan sampai kita terjebak cuma karena ingin mengoleksi buku sebanyak-banyaknya tanpa pernah membacanya (bibliomaniak). Atau lebih parah lagi menyukai buku karena ingin menyobek bagian tertentu saja (biblioskas). Bahkan ada yang lebih primitif lagi yaitu orang yang masih percaya bahwa dengan meminum serpihan dari buku kita akan langsung mendapat wangsit dari buku tersebut (bibliofagi). Minimal memiliki buku hanya sekadar untuk selfi (biblionarsistik) tujuan agar orang lain tertarik dengan apa yang kita unggah. Lebih baik selfi dengan buku daripada dengan alkohol. Buku mencerdaskan alkohol memabukan.

Ketika aku melihat ada kerabat atau teman yang rumahnya penuh sesak oleh buku rasanya iri mengapa aku belum mampu demikian. Ku lihat di antara rak buku berjajar layaknya perpustakaan umum yang menyediakan banyak pengetahuan. Aku hanya termenung mengapa tidak sejak lama mengumpulkan uang untuk membeli buku. Buku-buku memang tampak lebih asyik dipandang ketimbang wajah seseorang yang penuh manipulasi kemunafikan.

Sejak dulu aku punya angan-angan di rumah kecil kami ingin sekali buku-buku berjajar rapi. Agar kelak anak cucu menziarahi keluarga dan tentunya buku. Biarkan mereka bermain di sana menyelami setiap kata yang beradu menjadi kalimat menjelma pengetahun. Aku hanya ingin keluarga kecil yang tak berpendidikan tinggi nampak lebih mencintai ilmu karena buku-buku dipertimbangkan. Rak buku dan perpustakaan pribadi misalnya tidak hanya sekadar formalitas sebagai hiasan atau pajangan rumah melainkan sebagai laboratorium yang asyik untuk diselami. Maka tidak aneh jika para pecinta ilmu menjadikan membaca sebagai tamasya paling indah. Membaca tak membutuhkan karcis apalagi password. Membaca ya membaca saja.

Tapi kadang aku merasa sedih karena orang-orang masih tega membajak buku, menjualnya, dibuangnya ke rongsokan. Sungguh hati agak teriris ketika melihat kenyataan tragis itu. Walaupun aku sadari bahwa kebutuhan hidup tak bisa ditebak kadang dari buku pun bisa menghasilkan uang. Tapi bagaimanapun juga buku untuk dibaca lalu ditulis disebarlah manfaatnya. Bagaimanapun buku tetaplah buku. Ia adalah tumpukan keras yang merangkum pengetahun. Walau begitu buku juga rapuh banyak hal yang sejatinya masih terus kita pelajari termasuk bagaimana berkawan dengan buku tanpa punya sikap aneh. Jangan sampai kita menjadi seorang bibliotaf yang ingin mati satu liang lahat bersama buku. Yang perlu dihayati buka bukunya tapi isinya di mana jika ia bermanfaat bagi orang lain maka kebermanfaatannya akan terus mengalir seiring pupusnya usia. Aliran itu tak akan putus bagai jariyah yang abadi.

Maka dari itu kadang aku berpikir mereka yang berjuang dari dan dengan buku untuk sejarang bangsa dan meninggalkan banyak buku di rumahnya ia akan jadi saksi. Mereka memang manusia tangguh memperlakukan buku laiknya manusia, dimasukanya ke dalam peti lalu disusunya dalam sebuah rak, ditata dengan rapi. Ia menghias dan tak lupa membaca. Para orang-orang besar pastilah suka membaca atau cara lain membaca alam lewat pengalaman. Pastinya ada ruang sendu untuk membaca. Buku-buku memang teman duduk sepanjang hayat. Lantas kita senantiasa berusaha untuk jangan mati sebelum punya buku.

the woks institute l rumah peradaban 24/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde